Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kata-kata beraroma sendu sudah biasa terdengar, seraya percikan hujan mendominasi, didukung petir menggelegar.
Bertubi-tubi kamu mendapat pukulan melalui kalimat, tapi dengan keyakinan diri, kamu percaya apa yang terlontar dari bibirnya adalah kesedihan amat mendalam.
"Kamu anak haram!"
"Seharusnya kamu mati!"
Fisikmu sudah memar, batinmu ikut membiru, hampir membusuk jika tidak punya harapan barangkali setelah melihatmu secara sering luka-lukanya dapat berguguran.
Kamu tahu benar, bukan kamu yang haram, melainkan kedua orang tua yang melakukan hal bejat dan membuahkanmu. Bukan kamu yang mesti mati, melainkan pemikiran sang bunda terhadapmu.
Iya, ini kisah sederhana, tapi rumit. Kisah klasik, tapi senantiasa menjadi topik tiada henti. Menjamur, dan berakhir menjadi budaya. Sungguh, kamu tidak paham letak kesalahanmu. Apakah hanya sebab kamu terlahir?
Namun, di luar kendali, kamu menyayangi sang bunda. Jauh amat dalam melebihi rasa sakitmu, kamu memahami bagaimana bunda bersedih. Saat mengandung, bunda selalu membagi kesedihannya kepadamu, membagi luka serta cemooh orang. Kamu selalu ingin memeluknya, kemudian berjanji akan membawa sinar.
Lantas ketika kamu harus tidak bernapas di kedua tangan hangat itu, kamu tidak paham; mengapa setelah lahir ke dunia, bunda tidak pernah membagi deritanya lagi, dan justru melampiaskan semua lara kepadamu?
Mengapa, seseorang begitu mudah menyakiti orang lain di luar diri, hanya karena mereka terluka?
Memberi luka besar, padahal belum tentu lukanya akan sebesar itu jika mau berbagi dibanding menghakimi.
Tubuhmu masih begitu mungil, tapi kamu pernah punya angan-angan tinggi untuk memeluk dan bersinar di hadapan bunda sehingga kamu bisa menyaksikan senyumnya meski secuplik.
Kamu gugur, harapanmu turut gugur.
Demikian, hatimu juga layu lalu mati. Kamu tidak ingin memahami lagi bagaimana situasi berjalan, kamu sudah terlalu lelah hingga pasrah.
Kamu membiarkan udara memanas turun, membiarkan telingamu tuli, dan bibirmu rapat sampai bisu.
Jika bisa mendaur ulang waktu soal perjanjian dari Tuhan yang bahkan jauh sebelum kamu lahir, kamu tidak mau memilih bunda sepertinya. Kamu, tidak sudi jika hanya dianggap sebagai timbangan berat.