Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
AKU mengingat orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku bukan dari nama mereka, tapi lebih dari aroma yang menguar dari tubuh mereka pada saat terakhir kami bertemu.
Aroma cengkeh, misalnya, selalu mengingatkanku pada sosok Jim, sahabat masa kecil yang keluarganya berasal dari Tidore. Atau aroma pasir basah yang selalu mengikat memoriku dengan Sen, kawanku yang setiap pulang sekolah membantu bapaknya menjadi buruh angkut pasir.
Ingatan pada Pia, cinta monyetku, bertaut pada aroma bunga kenanga yang aku selipkan pada surat yang aku kirimkan padanya sebagai pernyataan perasaan. Sementara pada Ger, kakak kelasku yang juga menyukai Pia dan akhirnya memang menjadi suaminya, melekat aroma tahi kerbau, yang pernah kulumuri pada sadel sepedanya begitu mengetahui bahwa ia jadian dengan Pia.
Demikianlah. Setiap aroma menjadi simpul ingatanku akan orang-orang. Namun, kini aku mencium aroma yang ganjil. Begitu asing. Purba. Tak peduli sekeras apa pun aku mencoba berpikir, tak satu pun wajah yang terlintas di benakku. Siapakah?
Aku menghidu aroma tersebut lebih dalam. Kucium bau pohon-pohon, juga bunga liar. Lembab tanah, embun pagi? Ah, selebihnya adalah aroma yang sama sekali tak bisa kunamai.
"Tentu saja kau tak pernah mencium bau tubuhku..." Seseorang tiba-tiba sudah berdiri di depanku.
"Kaukah itu?"
"Ya, ini aku. Apakah kau sudah bisa mencium aromaku dengan saksama?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Pohon, tanah, embun, bunga liar....
Itulah aroma terakhir yang kucium sebelum pemiliknya mencabut nyawaku.*