Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Berkali-kali aku mengetik namanya, hanya untuk keluar dari ruang obrolan tanpa menyampaikan apapun. Untuk kesekian kalinya berkata pada diri sendiri.
"Diam itu lebih baik untukmu sekarang. Kau tidak mau mengulang kesalahan yang sama kan?" Ini Logika yang berbicara.
"Itu benar, tapi..." Ini Perasaan.
Aku menghela napas, mengalah pada perasaan. Begitu ruang obrolan terbuka, aku melihat satu kata tertera dibawah namanya. Online. Muncul sedikit kebahagiaan yang segera padam. Toh aku tidak akan mengatakan apa-apa pada akhirnya. Aku mendengus, lagi-lagi keluar dari ruang obrolan. Aku mematikan layar ponsel, menghempaskan punggungku ke kasur
"Lagipula apa yang mau kau sampaikan? Bahwa kau menyukainya? Lantas apa? Kau berharap dia punya perasaan yang sama?" Logika mencecar.
"Dengar, aku tahu kau pernah mendengar bahwa solusi untuk dua orang yang saling mencintai itu hanya menikah. Tapi kita tidak tahu cintamu ini sepihak atau tidak. Kau mau bertanya? Kau yakin mau merendahkan diri? Satu-satunya hal yang bagus dari itu adalah kalau ia juga menyukaimu. Tapi kalau tidak, Itu memalukan." Lanjutnya.
"Atau, aku bisa melamarnya langsung." Perasaanku tidak mau kalah
"Ap... melamar? Kita BUKAN dalam tradisi dimana wanita melamar laki-laki adalah hal normal. Bagaimana kalau dia menyukai orang lain, lantas menolak? Mau diletakkan dimana mukamu itu?"
"Aku bisa beritahu ayah. Ayah akan melamarnya untukku."
"Oh, begitu? Itu yang kau mau? Oke, silakan beritahu. Aku tidak akan menghalangi."
Hening. Suara-suara di kepalaku menghilang sejenak.
"Lihat? Kau bahkan tidak yakin dia orang yang tepat atau bukan." Dia menghela napas sebelum melanjutkan.
"Kawan, cinta akan menemukan jalannya. Percayalah. Saat ini, lakukan saja bagianmu. Perbaiki diri, belajar lebih banyak lagi, minta pada-Nya. Dia akan menyelesaikan sisanya." Dia menepuk pundak temannya, menenangkan.
"Kau benar. Aku tidak bisa memaksakan ini." Ujarnya pelan. Dia tersenyum tipis.
"Tidak heran ganjaran orang yang beriman itu besar. Percaya dan menerima baik buruknya takdir yang menanti di depan sana bukan hal yang mudah. Tidak jarang yang terjadi sangat jauh berbeda dari apa yang diinginkan. Kita sudah berkali-kali melewati itu, bukan?" Lanjutnya.
Logika menjawab dengan anggukan.
"Tapi berkali-kali pula aku protes, mempertanyakan banyak hal, luput melihat sisi positifnya. Padahal boleh jadi Dia sedang menghindarkanku dari bahaya. Boleh jadi Dia sedang menyiapkan yang lebih baik. Padahal yang aku miliki sekarang, boleh jadi sangat dibutuhkan oleh orang-orang di luar sana." Suaranya bergetar.
Logika meraih tangannya, menggenggamnya erat.
"Kau benar. Sekarang, bisakah kau berjanji satu hal padaku? Esok lusa, jika lagi-lagi kenyataan tidak sesuai dengan yang kau harapkan, maukah kau menerimanya dengan lapang dada? Alih-alih protes, maukah kau bersyukur dan bersabar?"
Matanya berkaca-kaca. Dia mengangguk pelan. Air matanya mengalir perlahan. Dia merasa sangat rapuh.
"Aku takut, tapi aku berjanji." jawabnya. Logika tersenyum, mengusap air mata temannya.
Aku termenung. Takut pada hal yang tidak kita ketahui adalah hal yang wajar. Masa depan adalah salah satu contoh nyatanya. Orang-orang, biasa menyiasatinya dengan sesuatu yang mereka sebut rencana. Tapi rencana tidak pernah berjalan sendiri. Tuhan memberinya penunjuk jalan bernama takdir. Tak banyak manusia yang tahu. Kebanyakan orang menolak, saat takdir menuntunnya ke jalan yang berbeda. Mereka protes, seolah tahu apa yang terbaik untuk mereka. Mereka menghujat Tuhan, melontarkan berbagai celaan. TUHAN TIDAK ADIL. TUHAN KEJAM. Tidak sedikit juga yang mempertanyakan keberadaan-Nya dan berakhir dengan menafikan-Nya. KALAU BENAR TUHAN ITU ADA, DIMANA DIA SAAT AKU MEMBUTUHKANNYA? MANA PERTOLONGAN YANG DIJANJIKAN?
Pertolongan? Apa kita layak untuk ditolong? Dan apa yang kita tahu tentang keadilan? Sama rata? Apakah itu yang dinamakan adil? Kawan, kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda, kondisi ekonomi, sosial dan mental yang berbeda. Kalau Tuhan menyamaratakan beban hidup kita, apa itu adil? Tidak. Lalu kenapa di waktu yang sama, kita meminta sesuatu seperti yang dimiliki orang lain sedangkan beban hidup kita berbeda? Percayalah kawan, Dia akan memberi apa yang kita butuhkan tepat pada waktunya. Tidak akan terlambat walau sedetik. Saat Dia merasa kau siap, bukan saat kau merasa dirimu siap. Tapi kalau kau mau merengek pada-Nya, mungkin Dia mau mempercepatnya. Siapa tahu?