Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Terbaringlah seorang pemuda, menatap langit-langit kamar yang jarang sekali ia lihat, sebab matanya terlalu sibuk menatap kemelut di layar yang lebarnya hanya tujuh inci.
"Hidup kok gini-gini aja, ya?" keluhnya, percayalah sebelum kalimat itu terucap, kata-kata itu sudah lebih dulu menjajah pikirannya sepanjang hari tadi.
"Gini gimana?" terdengar sebuah suara bertanya, si pemuda tak menoleh sedikit pun, dirinya sibuk melukis udara.
"Ya, nggak ada perubahan, kok kayaknya sulit banget hidup gua ini, nelangsa, hampa, hidup segan mati tak mau," jawabnya.
"Terus kenapa?" tanyanya lagi, pura-pura tak mengerti.
"Kok, kenapa? Gua mau deh, hidup kayak orang-orang, banyak uang, mau apa aja tinggal pilih nggak perlu repot liat harga, nggak perlu repot besok bisa makan, apa nggak, dan nggak perlu repot mikirin besok masih ada uang atau nggak," jawabnya.
"Lu mau kayak mereka, tapi kerjaan lu cuman scroll twitter, nonton YouTube, gibahin orang, mau berubah dari mana hidup lu?" serunya.
"Apaan, kenapa jadi bahas ke sana? Jauh banget, terlalu jauh itu, yang realistis-realistis aja?" sewot pemuda itu, tak terima.
"Ya iyalah, nih gua kasih tau, mereka emang nggak nunjukin perjuangan mereka, tapi nggak berarti mereka nggak banyak berkorban. Mereka rela nggak tidur, buat garap kerjaan mereka, ribet meeting sana sini, buat kesepakatan sama banyak kolega, korbanin waktu tidur, waktu main, mereka korbanin semuanya, bahkan sampe rela korbanin keluarga mereka. Buat apa mereka kayak gitu, gua tanya?" katanya.
"Buat apa?" pemuda itu malah balik bertanya.
"Buat menuhin kebutuhan yang lu sebutin tadi, mereka korbanin masa muda mereka, mereka kejar cita-cita mereka, mereka rela bercucuran keringat, sampe berdarah-darah sekalipun, mereka rela banting tulang, kaki di kepala, kepala di kaki, kerja dari pagi, ketemu pagi. Mereka berjuang dari muda, dari awal, karena kalo nggak kayak gitu, masa depan mereka yang jadi korban," jelasnya, bersungut-sungut.
"Bener juga," komentarnya, dia termenung, mencerna setiap kata yang terlontar tanpa tedeng aling-aling itu.
"Ya, iya, makanya lu berhenti mikirin harus gimana, lakuin aja apa yang lu bisa sekarang, kejar mimpi lu, mulai dari apa yang lu suka. Kurang-kurangin scroll twitter, mulai tonton video yang ada manfaatnya, cari yang kasih tuntunan, bukan cuman hiburan nggak berfaedah gitu. Gua tau susah buat berhenti di jaman yang serba internet ini, jadi lu yang harus mulai pilih-pilih. Terus kejar cita-cita lu, lu mau segalanya ada di tangan lu, tapi kalo nggak gerak mereka juga nggak bakalan datang sendiri. Lu yang harus gerak, kejar woi, kejar," nasihatnya.
"Kalo gagal gimana?" tanyanya, pesimis.
"Lu belum apa-apa udah mikirin gagal, lakuin aja dulu, berhasil atau gagal itu belakangan," jawabnya.
"Gua takut," cicit si pemuda yang masih betah terlentang, sembari menghitung jejak laba-laba di atas sana.
"Ya elah, timbang gagal, ulangi aja lagi, kesempatan nggak cuman sekali, banyak. Gagal plan A, masih ada plan B, gagal lagi, tenang abjad nggak hanya mentok di huruf B, masih banyak, nggak ada yang perlu dikhawatirin," katanya.
"Gitu, ya?" tanyanya, masih meragu.
"Nih, gua kasih tau lagi, kita itu emang butuh gagal dulu, biar kita tau caranya bangkit dan ngehargai sesuatu, karena selain materi, lu juga harus punya empati sama simpati, kalo lu nggak punya itu, nantinya lu malah jadi rakus, serakah, dan lupa diri. Lu harus inget, lu itu manusia, jadi sebisa mungkin lu harus tetep napak bumi," nasihatnya.
"Hm, gua pikirin deh," ucapnya.
"Jangan cuma dipikirin, lakuin, dunia udah mulai perang dunia ketiga, lu masih diem di tempat, yang bener aja, rugi dong," celetuknya.
Si pemuda itu terkekeh. "Oke, gua akan berubah, enaknya mulai dari mana ya?"
"Enaknya, lu tidur dulu, berhenti overthinking, masih ada besok, lu bisa rencanain mulai besok, sekarang lu istirahat," sarannya
"Ide bagus," serunya. "BTW, lu siapa ya? Kok gua kayak kenal?" tanyanya pada suara yang sedari tadi menimpali setiap pertanyaannya.
"Gua? Hati lu!"