Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Acara menginap malam ini memberi getaran asing dari yang biasa kami nikmati―di mana kami biasanya hanya berkutat dengan jajanan dan berbincang seputar kisah sekolah atau asmara remaja. Namun, kali ini, ada sesuatu yang aneh menggelayut di udara, seolah-olah ada sesuatu yang besar sedang dipertaruhkan.
Tampang serius dari Galih, Indira, dan Bara yang menyambutku cukup membuat dahiku berkerut. Kuharap ini bukanlah kabar buruk―seperti kehilangan jajanan favorit kami, lalu kami akan merencanakan misi-misi rahasia konyol untuk menyelamatkan dunia dari kepunahan jajanan.
Sambil memiringkan kepalaku sedikit, aku bertanya, “Apa yang kalian rencanakan di balik layar?” Kuharap jawaban mereka tak lebih aneh dari pertanyaan spontanku ini.
Galih menggeleng, "Kita harus bahas tentang mimpi buruk kita."
"Mimpi buruk?" balasku, cukup kaget. "Kalian semua bermimpi buruk?"
Mereka mengangguk serentak, yang kemudian Indira menyela, "Dan itu semua tentang ..." Dia berhenti sejenak, tampak sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk merampungkan kata-katanya.
"Tentang apa?" desakku, rasa penasaranku menggeliat.
"Tentang tubuh kita yang berubah jadi buah-buahan!" seru Bara, matanya terbelalak sangat.
Aku nyaris terjatuh dari kursi teras. "Buah-buahan?"
Galih mengangguk serius. "Iya, Xa. Aku mimpi aku berubah jadi semangka raksasa, Indira jadi pepaya, Bara jadi jeruk, dan kamu ... kamu jadi pisang!"
“Tunggu-tunggu-tunggu. Pisang?” Aku harus berhenti sejenak buat ngakak. "Bercanda, hah? Enggak masuk akal banget!"
Mereka mengangguk lebih serius, wajah mereka penuh kecemasan. "Namun anehnya, mimpi kita bertautan, Xa," kata Indira dengan nada campur aduk.
"Ah, itu pasti hanya mimpi. Mungkin saja ini hanya kebetulan. Tidak mungkin juga kita tiba-tiba berubah jadi buah-buahan, kan?” Aku mencoba menenangkan mereka dengan pikiran logisku. “Absurd banget!"
Namun, kekhawatiran itu masihlah bisa dicicipi udara. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidur dan melihat apakah mimpi itu akan menghadirkan sekuel yang lebih seru. Siapa tahu, mungkin kami akan terbangun sebagai warga negara dunia buah-buahan.
Esok paginya, kami berkumpul kembali dengan kata-kata yang menggantung di udara.
“Bagaimana?” Indira memecah keheningan.
Dengan satu nada, kami mengangguk, lalu aku berbagi, "Aku masih jadi pisang. Kalian?”
Galih mengerutkan kening, "Aku masih semangka."
Bara mengangguk, "Dan aku masih jeruk."
Indira memandangku serius, "Masih jadi pisang?"
Aku mengangguk, "Iya, kenapa?"
Dia menghela napas. "Karena aku jadi ... blender."
Kami seketika hening, mencoba mencerna pernyataan mengejutkan Indira. Aku berusaha keras menahan tawa, tetapi ketika melihat ekspresi serius wajahnya, aku benar tidak kuasa menahannya. Gelak pun memenuhi ruangan.
Bara menyelinapkan pertanyaan, "Tapi tunggu! Kalau Indira jadi blender, apa artinya?"
Kami semua memandanginya, sangat penasaran.
Indira tersenyum lebar, "Berarti aku bisa buka bisnis jus buah-buahan!"
Dengan itu, acara menginap kami kini berubah menjadi sesi eksperimen alam bawah sadar aneh yang konyol―di mana kami memainkan peran kami sesuai buah masing-masing seraya tertawa-tawa. Namun, ada suara aneh tiba-tiba dari dapur dan kami spontan jadi patung.
Tanpa ragu, kami bergegas menuju dapur, dan di sana kami disambut oleh pemandangan yang sama sekali tak terduga: sekelompok makhluk kecil, setengah ukuran manusia normal―sibuk mengolah buah-buahan menjadi jus.
"Mereka siapa?" tanyaku, keheranan mengalir dalam nada suaraku.
Galih menatapku ragu, "Kurasa mereka itu produk dari mimpi kita."
Kami bertukar pandang, keterkejutan dan penasaran menciptakan dinamika ruang. Menyelidiki lebih dalam tentang para makhluk kecil yang tiba-tiba muncul di dapur, kami sadar bahwa mimpi kami telah melahirkan realitas, suatu eksistensi di luar batas nalar, tetapi tanpa ragu nyata. Dan siapa sangka kalau acara menginap biasa-biasa kami berubah konyol jadi kisah aneh yang cukup menggelitik kepala?