Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Lalu Terdengar Suara Parang Ditebaskan
1
Suka
10,133
Dibaca

MEREKA sering ke situ, berdua, ke garis batas antara hutan dan desa. Agak masuk sedikit ke dalam kawasan hutan. Malam itu mereka berada di sana lagi. Dalam suasana yang sama sekali lain. Mereka berdiri di gigir tebing patahan alami itu. Seperti sisa barisan. Memandang ke arah lembah. Lembah yang tak terlalu besar dan tak terlalu dalam.

Sepanjang jalan tadi mereka tak berbicara. Setiap langkah seperti dipertimbangkan benar agar tak terlalu bersuara.

"Aku tak bisa dan tak mau ke mana-mana," kata Warni.

"Aku kira aku tahu kemana kamu harus pergi," kata Zam.

"Bersama kamu?"

"Iya..."

"Itu yang aku tak mau."

"Orang akan semakin menyalahkan aku."

"Bunuhlah aku, Mas. Aku tak punya pilihan kecuali mati. Aku ingin kamu yang membunuhku. Aku ingin mati di tanganmu," kata Warni.

Zam terkesiap. Ia merasakan ngeri yang tak pernah ia rasakan. Ngeri disergap suara Warni yang dingin. Tenang. Berat. Sama sekali tanpa kesedihan.

Gelombang pembantaian datang dari arah barat seperti pasukan kalajengking raksasa. Sesudah pembunuhan para jenderal di Jakarta, pasukan yang dipimpin seorang perwira datang dengan senjata yang seakan ditarget satu nyawa satu peluru. Kekacauan, dendam, pertikaian politik, menjadi bahan bakar. Tentara seperti memberi restu pada siapapun untuk membunuh siapapun, asal dia kiri.

"Mereka sudah membunuh ayahku. Ibuku. Kakak-kakakku, Mas," kata Warni. "Aku sekarang sendiri. Mereka pasti akan membunuhku. Mereka pasti sedang mencari aku..."

Zam terdiam. Zam berpikir keras mencari jalan lain selain apa yang diusulkan Warni.

"Aku tak akan bunuh diri, Mas..."

Lalu terdengar suara parang ditebaskan. Dua kali. Tubuh Zam dan Warni terguling ke bawah lembah itu. Menyusul kepala yang menggelundung lebih dahulu.

"Lho, itukan Gus Zam, anak Kyai Zainul?"

"Mana saya tahu. Gelap...."

"Ya, sudah. Timbun aja. Yang penting anak Pak Wongso, Ketua BTI itu, sudah mati."

"Si Warni? Yang ini?" si penebas yang tadi melompat ke bawah tebing, mengangkat kepala Warni ke arah seseorang yang sepertinya memimpin kelompok pembantai orang-orang kiri itu.

"Iya. Dia. Siapa lagi..." kata seorang yang lain.

 © Habel Rajavani, 2024.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
W R A P P E D
Anantya Ilma
Novel
Fullove Palace
Mahira Kana
Skrip Film
Pesan di Lembar Terakhir
Rika Kurnia
Skrip Film
Skrip pertama dari hati untuk mimpi
UBI Master
Flash
Cinta di Ujung Lidah
Sulistiyo Suparno
Flash
Lalu Terdengar Suara Parang Ditebaskan
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Surat Terakhir Untuk Ibu
Raden Caviar Azadel Rayzacky
Novel
Cara & Caleb
Huning Margaluwih
Cerpen
Bronze
Ice Cream Rasa Yang Pernah Ada Namun di Sia-siakan
Haidee
Novel
Bronze
Memang Jodoh
Imajinasiku
Novel
Mambo Jambo
SURIYANA
Flash
Unconnected Twin
Anita Jun
Flash
Bronze
Tak ada cerita hari ini
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Mengapa Orang Dewasa Menikah?
Adinda Amalia
Novel
Euforia
Varenyni
Rekomendasi
Flash
Lalu Terdengar Suara Parang Ditebaskan
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Cerita Cinta yang Tak Pernah Ingin Kuakhiri
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Lebih Pedih dari yang Pedih
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Tentang Seorang yang Ingin Melempar Tahi ke Wajah Koruptor
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Rambut Baru Oma Nana
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Apa yang Tersimpan di Dinding Mercusuar Itu
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Karena Dia Sahabat Kyai Yassin
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Gadis Kecil dan Perawat Tanaman yang Bicara Pada Bunga-bunga
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Jaket dengan Lubang Bekas Peluru
Habel Rajavani
Novel
Bronze
Duka Manis - Balikpapan 1995
Habel Rajavani
Flash
Kisah Nyonya Nredom
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Berhenti Saja Kau Jadi Guru
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Perihal Premis dan Penulis Aidul
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Bagaimaan Frida Menemukan Persembunyian Skaramus
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Bimbim (alias Ibrahim), Kamu Jangan Menangis!
Habel Rajavani