Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Mbak Rin, temenku mau kenalan," kata Mey saat mendatangi kamarku. Temannya baru saja pindah ke kos ini.
"Oh udah dateng, Mbak?" tukasku sembari menutup novel.
"Iya. Yok! Dia mau ketemu kamu."
Dia yang ingin bertemu kenapa aku yang harus ke sana? Drama baru dimulai.
Sebenarnya aku malas. Tapi karena Mey memaksa, seperti saat dia selalu memaksaku keluar kamar—Mey bilang setiap orang butuh bersosialisasi. Padahal aku sungguh lelah kalau sudah sampai di kos. Seharian aku sudah bersosialisasi dengan Joe, Fabian, dan Zul—tambahkan juga orang tuanya. Tapi pada dasarnya aku memang cenderung antisosial.
Menurut cerita Mey sebelumnya, umur temannya hampir lima puluh tahun. Mey sepuluh tahun lebih muda darinya, sementara aku dua puluh dua. Jadi apa boleh buat.
Perkenalan pun terjadi di kamar Mey.
"Rini." Aku berjabat tangan dengan wanita berambut pendek itu.
"Dian," balasnya. "Tapi panggil aja Madam."
Aku mengangguk.
Mey ada di luar kamar, mencari udara segar, membiarkan suasana canggung mengambang di antara kami.
Tapi Madam kelihatannya pintar mencari topik pembicaraan. Karena setelah menanyakan berapa lama aku nge-kos di sini, dia sudah membahas tentang hal-hal ghaib.
"Di sini banyak loh," katanya.
"Apanya?" tanyaku tidak mengerti.
"Penunggunya." Santai sekali dia saat mengatakannya.
Aku mengangguk lagi. Penunggu maksudnya semacam makhluk halus. Aku tahu di mana-mana juga ada. Asal kita tidak mengganggu saja.
Dia menunjukkan tempat-tempat yang spesifik. Di pohon depan kamar Mey—Mey, aku, dan Fina memang menempati tiga kamar paling depan di lantai dua. Supaya mudah mengakses udara segar dari pintu balkon.
Aku menimpali. "Pantas kadang ada suara-suara dari depan. Aku pikir Mbak Mey." Iseng saja. Akhir-akhir ini aku suka asal bunyi berkat usaha keras Mey mengajakku bersosialisasi. Dan kebetulan sekarang menemukan topik. Kalau tidak begini, aku yang ansos pasti sudah jadi patung baru yang tidak tahu harus berkata apa.
Madam sepertinya senang topik ini menarik. Dia lalu bilang, di bawah tangga juga ada. Aku mengangguk mencoba membayangkannya.
"Kamu ada masalah ya?" tanyanya kemudian.
Aku tersentak.
"Katanya kabur dari rumah?"
Heh? "Nggak juga. Cuma emang niatnya cari kerja yang ada mess-nya. Tapi nggak bertahan lama, dan sekarang nemu, tapi nggak ada mess-nya. Males aja pulang ke rumah."
Mey pasti sudah memberitahunya tentang usaha ibuku mengenalkanku pada laki-laki yang bermaksud melamarku.
Madam terlihat mengerti.
"Di rumahmu ada laki-laki ya?"
Aku kembali melihatnya.
"Masih muda."
"Ya. Adikku. Dari mana Mbak tau?" Aku lupa dia menyuruhku memanggilnya Madam.
"Tau lah aku."
Aku memikirkannya. Mungkin dia punya kemampuan layaknya paranormal yang bisa menerawang ke tempat lain.
"Kamu ini orangnya nurut. Suka ngalah," tebaknya.
"Iya." Aku lumayan kagum dengan tebakan itu.
"Kalau ada masalah bisanya cuma nangis," lanjutnya.
Aku tersentak. Sekarang aku sedikit kesal padahal tebakannya benar, meski kurang akurat. Akhir-akhir ini aku sering marah-marah dan bertindak kasar.
"Ya. Kadang."
"Aku bisa baca pikiran kamu," lanjutnya.
"Oh ya?" Aku tersentak.
"Mau bukti?"
Aku belum menjawab, tapi dia sudah melanjutkan. "Kamu punya gelas? Coba ambil."
"Aku nggak punya gelas."
"Lah. Trus kalau minum pakai apa?"
Pakai panci lunch box electric. Tapi aku terlalu malu untuk menjawabnya. "Pakai botol." Karena memang kadang aku minum langsung dari botol air mineral.
"Apa aja yang bisa buat minum. Ambil aja. Di sini udah ada air." Dia menunjuk galon air di sudut ruangan. Baru-baru ini Mey memang langganan galon yang dia pesan dari Fina.
"Nggak usah deh," tolakku halus.
"Kamu suka membangkang ya." Entah dia sedang menebak atau mencela.
Aku ingin menjawab ya. Tapi aku hanya tersenyum kecil.
"Kamu tahu. Aku tiba-tiba aja pengin pindah ke tempat ini. Nggak tau kenapa. Ternyata bener, kan?"
Apanya? tanyaku dalam hati.
"Percaya. Ini biar kamu itu lebih berani. Nggak ngalah terus. Kasihan kamu kalau hidupmu seperti itu terus."
Aku memikirkannya.
"Kamu bisa ngerasa lebih baik nanti. Kalau mau sembuh, turuti apa kataku."
Aku sudah memutuskan, tapi tidak enak menolak. Aku tidak pernah suka dengan hal-hal semacam ini.
"Kamu ambil segelas air sekarang," sergahnya.
"Nggak." Aku mencoba tetap tersenyum seperti halnya yang diajarkan guru pelayanan prima di sekolahku dulu saat harus menghadapi tamu yang menyebalkan.
"Kalau kamu nggak mau melakukan apa yang aku perintahkan, keluar dari sini." Matanya menatapku nyalang.
Aku terenyak. Bukankah tadi aku yang diundang?
"Aku nggak suka sama orang yang suka membangkang," katanya saat aku kembali melihatnya.
Aku kesal, karena belum lima belas menit dia bilang aku penurut. Tapi aku menanggapinya dengan senyum, sekalipun tahu pasti terlihat sekali dipaksakan.
Akhirnya selesai juga pertemuan ini. Aku melangkah pergi.
Di luar, Mey terlihat tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi di dalam. Apa dia takut pada Madam?
Membiarkan orang lain membaca pikiranmu terdengar seperti membagikan password email pada orang lain. Yang bisa membuat kita khawatir jika sewaktu-waktu di-hack. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi aku tidak ingin berada dalam kendali orang lain.
Aku mendekat ke pagar, melongok ke lantai satu. Berharap Mey mau menjelaskan semua ini. Tapi dia malah bilang,
"Jangan kayak gitu, jatuh kamu ntar."
Aku tertawa mendengar komentarnya. Sengaja kukeraskan volumenya, agar temannya yang ada di dalam tahu aku baik-baik saja. Aku tidak mempan diancam. Bahkan bahagia sudah diusir.
"Mio mana ya?" tanyaku kemudian.
"Ya mana aku tahu. Emang aku emaknya," Dia tertawa ringan juga.
Keesokan harinya, sepulang kerja saat sedang beristirahat di kamar, aku mendengar suara Madam dari kamar Mey yang pintunya setengah terbuka.
"Aku bisa baca pikiranmu."
"Coba ambil segelas air."
"Minum."
"Minum?" Itu suara Indira.
"Iya. Coba aja."
Hening.
Tak lama kemudian, aku tidak begitu mendengarkan atau suara-suara itu memang tidak kedengaran jelas dari kamarku.
Indira tertawa keras. Sepertinya Madam berhasil membaca pikirannya dengan benar. Lalu terdengar suara Mey, juga Madam sendiri.
Ketegangan sepertinya sudah mencair di sana. Keakraban terjalin dengan lebih banyak Indira yang tertawa—tapi dia memang orang yang ramah.
Persetan, pikirku. Mungkin aku memang tidak pandai bergaul. Tapi aku memang tidak bermimpi untuk tertawa-tawa seperti Indira saat itu.