Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Matahari bersinar terang ketika aku mengangkat topi pantaiku. Aku membetulkan posisi pita hitam yang miring pada topi, lalu memakai topinya ke kepala. Sembari berbaring di hammock yang diikatkan di antara dua pohon kelapa, aku mengarahkan kamera ponsel ke wajahku. Berbagai pose kulakukan, walaupun setelah melihat ke 20 hasil jepretan, semua terlihat sama. Usaha mencari angle terbaik jadi mirip dengan bermain game tebak 10 perbedaan level paling sulit, karena tidak ada perbedaannya.
Akhirnya, setelah hampir 20 menit, aku memutuskan untuk mengunggah salah satu selfie ke Instagramku. Di foto ini, setidaknya menurutku, aku terlihat lumayan cantik. Matahari sedang bersinar cerah ketika aku menjepret foto ini. Pipiku terlihat merona, posisi topi juga miringnya pas sehingga tidak menutupi wajah, dan jujur saja, aku terlihat lebih imut, muda, dan cantik. Asyik.
Setelah memberikan filter Instagram supaya wajahku semakin terlihat bersinar, aku akhirnya mengunggah foto itu dengan caption: ‘Vitamin sea is as healthy as vitamin C’. Bermaksud estetik, tapi kok malah lebih terdengar seperti iklan vitamin. Ah, sudahlah. Dalam hati aku berdoa, semoga banyak yang memberi like pada fotoku kali ini. Mengunggah selfie sepertinya adalah hal terakhir yang akan kulakukan saat bermain Instagram karena aku tak pernah cukup percaya diri.
Selesai mengunggah, aku meninggalkan ponselku di hammock, lalu berdiri dan berjalan mendekati laut. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Udara sangat sejuk walau matahari sedang bersinar cerah dan aroma air laut yang bersih perlahan masuk ke dalam hidungku.
Laut sedang tenang. Hanya ada aku, lembutnya pasir putih, dan debur ombak di pantai. Suara burung camar yang beterbangan sesekali beradu dengan lembutnya debur ombak.
Aku terus berjalan mendekati laut dan melihat ada sebuah pulau di kejauhan. Pulau yang terlihat seperti tokoh Te Fiti yang cantik dan anggun dalam film Moana tanpa sadar membuatku terus berjalan mendekatinya.
Tak kusangka, sesuatu menarik kakiku ke dalam laut hingga membuatku lepas kendali. Ku angkat tanganku, berusaha mencari pertolongan, namun sesuatu itu terus menarik kakiku tanpa ampun.
Sinar matahari terasa semakin redup karena aku tenggelam semakin dalam. Aku menggerak-gerakkan tanganku, terus berusaha berenang ke permukaan, namun kakiku malah ditarik semakin dalam. Dalam lautan yang terasa semakin kelam, aku mulai mendengar suara aneh.
‘Kamu gak akan pernah cukup!’
‘Temen kamu tuh, banyak yang lebih cantik, lebih hebat. Kamu mah gak ada apa-apanya!’
Anehnya, meskipun tenggelam semakin dalam, aku masih dapat membuka mataku walau tak ada yang dapat kulihat selain kegelapan. Semakin dalam, suara aneh itu terdengar semakin keras, banyak, dan tak beraturan, membuatku pusing dan mual. Aku menutup telingaku dengan dua tangan meski tak ada gunanya.
‘Tuh, buktinya foto dia di Instagram like nya lebih banyak.’
‘Di-like juga sama Kenzie loh, foto kamu kapan?’
‘EMANGNYA KAMU?!
Aku masih menutup kedua telingaku. Mataku juga reflek menutup, karena aku takut tiba-tiba sosok tak diinginkan seperti hantu penunggu pantai atau siluman palung Mariana muncul di hadapanku.
Saat aku memejamkan mata, bayang-bayang halaman beranda Instagramku seketika muncul, seolah sengaja diproyeksikan oleh otakku. Secara otomatis, halaman beranda Instagramku bergerak perlahan dari atas ke bawah, menampilkan foto teman-teman perempuan yang ku kenal, yang semuanya cantik, jauh lebih jago berpose di hadapan kamera dan mendapatkan banyak like.
Aku juga melihat di semua daftar like foto itu ada nama pengguna @kenzie.geraldino, teman yang sudah lama kutaksir, yang foto-fotonya tak pernah absen aku like, namun tak pernah sekalipun ia menyukai fotoku. Ya jelas saja, ia tak akan pernah menyukai fotoku, karena akunku tidak difollowback. Jadi, mana bisa ia melihat postingan Instagramku? Padahal aku sangat yakin Kenzie mengenalku di dunia nyata, karena aku sering sekelompok dengannya saat mengerjakan tugas kuliah.
Aku merasa semakin sesak dan pusing. Selain karena tenggelam semakin dalam, kesedihan juga menyeruak dari lubuk hatiku. Aneh juga sih, karena tak seharusnya beranda Instagram dan postingan Instagram orang lain menentukan perasaan serta nilai diriku. Tapi, rasa sedih, perasaan tak pernah cukup dan minder tak mampu kubendung. Suara-suara aneh itu juga terdengar semakin keras dan mengganggu.
‘Ayo, sadar makanya!’
‘Jangan kebanyakan mimpi!’
‘Bangun!’
‘BANGUNNN!!!!’
TEEETT..... TEEEETTT.... TEEEEEEETTTT.... Suara berisik alarm membangunkanku. Aku langsung membuka mata cepat-cepat dan menyeka jidatku yang penuh dengan keringat. Oh, rupanya hanya mimpi. Aku mengedipkan mata, lalu tersadar kalau aku ketiduran dengan posisi ponsel yang masih kupegang. Aku membuka kunci ponsel dan layar menunjukkan halaman Instagram. Ada notifikasi dari sana bahwa aku sudah menghabiskan waktu selama 12 jam untuk bermain Instagram. Ah, rupanya semalam, aku terlalu asyik bermain Instagram hingga ketiduran.
Kemudian, foto paling pertama yang kulihat adalah foto Serafina, teman sekelasku yang cantik, jago berpose, juga jago mengedit foto. Seperti biasa, foto penuh filter dan make-up yang baru satu jam diunggah itu langsung mendapatkan 373 likes. Seperti biasa juga, ada nama @kenzie.geraldino di sana.
Aku menghela napas, kemudian tanpa sadar langsung mengecek halaman profil pribadiku. Hanya ada satu unggahan di sana. Foto candid ku saat sedang melakukan kegiatan sosial, mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak kecil di RPTRA untuk program pengabdian masyarakat yang diadakan oleh kampus setahun lalu. Aku yakin foto itu merupakan satu-satunya foto candid terbaik yang kupunya, jadi aku memberanikan diri untuk mengunggahnya dua hari yang lalu, berharap orang-orang juga memikirkan hal yang sama dan berbaik hati menyumbangkan like mereka.
Akan tetapi, foto dengan rambut kusut, wajah dekil, kemeja kusam, dan dikelilingi oleh anak-anak yang tersenyum ceria itu tak mendapat bahkan sepersepuluh dari jumlah likes di foto Serafina barusan. Dan tentu saja tak ada nama @kenzie.geraldino juga di sana. Kesal, aku langsung menghapus foto itu, juga menghapus akun Instagramku.
Jam di ponselku menunjukkan pukul 08:10 pagi. Aku baru sadar kalau aku ada janji pukul delapan pagi dan 10 menit malah kuhabiskan dengan Instagramku. Aku langsung terbirit-birit ke kamar mandi. Tanpa mandi, hanya menyikat gigi serta mencuci wajah, kemudian berganti baju, aku berangkat.
Meski baru jam delapan pagi, matahari sudah bersinar terik saat aku menyalakan mesin motorku. Mau aku sedang sedih, senang, tidak percaya diri, tidak punya uang, tidak punya pacar sekalipun, matahari akan selalu bersinar, kecuali saat mendung atau malam tiba. Namun, saat mendung reda atau ketika pagi datang, tentu ia akan bersinar lagi. Seperti matahari yang selalu bersinar, kehidupanku juga harus terus berjalan.