Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Terjadi satu ikatan antara Lengkuas dengan sahabatnya. Ikatan yang sudah terjalin sejak mereka dipertemukan saat bayi, lalu sekolah di Taman Kanak-Kanak yang sama, berlanjut Sekolah Dasar, lalu Sekolah Menengah Pertama, dan bahkan kuliah pun di fakultas yang sama.
“Ndak ada yang sempurna, As.” Begitu kata Kailan. Remaja putri berambut keriting, yang saking lebatnya bisa jadi sarang burung bertelur.
Lengkuas sejenak memandang deretan bangunan, yang berdiri di antara jalan beraspal. Bangunan-bangunan itu, berada di distrik luar perkampungan yang dibatasi bukit angker. Ya, mereka lagi berada di dekat jendela kaca di dalam kelas lantai teratas.
“Mau bakso?” Lengkuas memandang Kailan. “Tenang wae, tak traktir.”
“Ndak perlu ngulur waktu atau menganggap ndak ada apa-apa, As. Mending kita bicarakan masalah ini.”
Lengkuas enggan menanggapi.
“Piye?” Kailan mendekati Lengkuas. “Ya, maaf, kalau saya suka kamu. Mending terus terang, kan? Kalau kamu ndak suka saya, kan, kita masih bisa tetap bersahabat. Kita ini ….” Kailan tak lanjut bicara.
Narasi yang dirangkainya mendadak seperti benang kusut. Mereka memang bertumbuh bersama, tetapi sayangnya, Kailan masih belum memahami, bahwa yang selalu bersama bukan berarti harus bersatu seperti senyawa kimia. Ya, ketika menyangkut masalah hati, logika dan ilmu pengetahuan yang jelas dan sistematis pun seringkali berubah menjadi kontradiksi yang diabaikan. Itulah yang lagi Kailan alami. Sementara Lengkuas, baginya kembali bersahabat dan mengenyahkan masalah hati, menurutnya tidak semudah itu.
“Jawab, As ….”
Lengkuas mencebik. Tanpa memandang Kailan—arah pandangnya tertuju pada bangunan-bangunan di luar sekolah—Lengkuas bilang, “Aku, tuh, sukanya sama Putri. Kan, kamu sendiri juga tahu.”
Mendadak paras perempuan berkulit sawo matang memenuhi pikiran Lengkuas. Perempuan berambut panjang hitam yang pada ujung rambutnya bergelombang, telah membuat jantung Lengkuas berdebar lebih cepat.
“Saya tahunya kamu suka sama Pertiwi.” Dan Kailan menarik lengan Lengkuas sehingga perhatian cowok itu tertuju padanya.
“Ngaco!”
Dan mereka pun saling pandang.
“Wajar, kan, kalau cowok suka dua cewek? Tapi ujung-ujungnya harus milih juga. Dan sejak lama juga aku mutusin milih Putri. Kamu sendiri juga tahu itu.”
“Dan boleh juga, kan, saya menyukaimu? Saya yang nyata, ada di dekatmu, bisa-bisanya ndak dikasih tempat di hatimu. Sementara Pertiwi yang cuma temen sosmed, bisa kamu kasih tempat khusus. Kamu bisa ngomong cuma Putri yang kamu sukai, itu pasti hanya karena belum benar-benar ketemu Pertiwi.”
Lengkuas pun enyah meninggalkan Kailan. Kailan kesal dengan dada kembang-kempis.
[]
Hari-hari berlalu. Kailan tidak kuliah dikarenakan sakit. Lengkuas merasa ada yang janggal, dia merasa sakitnya Kailan disebabkan oleh dirinya. Dia pun mengatur jadwal untuk menengok sahabatnya.
Siang itu, di Halte Universitas, Lengkuas tengah duduk di tempat biasa dirinya bertemu dengan Putri. Ya, Lengkuas lagi menunggu Putri bertandang ke halte karena sosok yang dicintainya tak kuliah di universitas yang sama. Lebih dari dua jam, Putri tidak kunjung datang. Kendatipun begitu, Lengkuas tetap menunggu karena mereka sudah mengatur janji temu.
Sejenak Lengkuas membuka laman sosial medianya dan terkejut, akun Pertiwi tidak bisa dia tengok lagi.
“Njiiir!”
[]
Ponsel hitam itu mendarat di atas nakas. Kailan baru saja melemparnya dengan tatapan hampa. Dari layar ponselnya yang masih menyala, tampak nama akun sosial media kloningannya bernama Pertiwi.
Kailan beralih ke meja rias, dia habis mandi. Selang beberapa menit, dia membuka lipatan kertas kecil yang diselipkan dalam sela dompetnya. Setelah itu, dia merapal kata demi kata yang disebutnya mantra 'pelet alih rupo'.
Sekilas, Kailan mengingat momen dirinya bertemu dengan pemuda tampan bertubuh tinggi yang menawarinya ‘mantra uji coba’ saat melihatnya bersedih di halte depan universitas. Pemuda itu bernama Haru.
Bagaimana bisa Haru tahu betul isi hati Kalian kala itu? Pertanyaan itu belum terjawab karena semenjak pertemuan mereka, Kailan belum berjumpa lagi.
[]
Kailan tersenyum setibanya di halte sekolah. “As, maaf lama, ya.”
Lengkuas balas senyum seraya memandang sosok yang dilihatnya sebagai Putri. “Ndak apa-apa. Santai wae.”
-TAMAT-