Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
PELARIAN
0
Suka
4,720
Dibaca

"Dear diary,

Hari ini aku kenalan sama Lucky, tim Bu Clara.

Sebenernya nggak ada gunanya juga aku nambah kenalan sekarang.

Karena mau resign minggu depan, sehabis gajian.

Jadi gini ceritanya.

Aku terpaksa nebeng motor Lucky ke futsal.

Bu Prista yang suruh.

Dan nggak nyangka banget ternyata Lucky itu temennya Irvan TripleFive!

Nggak nyangka dia segabut aku.

Sama-sama cuma pernah sekali ikut latihan band itu.

Tapi .... dia kan temen sekolahnya Irvan.

Nah aku?

Jelas-jelas daftar jadi vokalis mereka.

Dan mundur gitu aja di tengah jalan, cuma karena masalah ego.

Pokoknya, sekarang aku nyesel banget.

Tapi nggak mungkin juga aku balik ke TripleFive.

Mereka pasti udah ilfil sama aku."

Tere berhenti menulis, lalu menyambar buku lain yang berisi lirik lagu.

Katanya lagu bisa dijual, pikirnya.

Sekarang dia beralih mengambil ponsel, dan tidak lama kemudian sudah berselancar di internet. Dia baru berhenti setelah mem-posting pertanyaan di sebuah komunitas band.

"Aku punya beberapa lagu ciptaan sendiri. Emang bisa ya jual lagu? Kalau bisa sampai berapa harganya?"

Tak lama kemudian, sebuah akun bernama Bee berkomentar,

"Bisa. 1.500-an. hahaha."

Tere tidak habis pikir melihatnya, lalu segera meninggalkan halaman itu.

Tere memang bisa membuat lagu sejak kelas dua SMP. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu, sampai dia lulus sekolah dan memutuskan bergabung dengan anak musik lainnya. Saat ini dia punya dua puluh lagu, dan tidak tahu harus membawanya ke mana.

Usianya sekarang delapan belas tahun. Baru tahun kemarin lulus SMK, juga baru-baru ini mendapat surat penolakan dari penerbit—enam bulan yang lalu dia mengirim naskah novel pertamanya ke Graymedia.

Dan naskah itu sekarang sudah dilirik ibunya—akan dijadikan bungkus gorengan.

Penolakan itu membuat Tere berpikir bahwa, mungkin dia memang tidak berbakat menulis novel.

Sang editor berpesan, konflik dalam novel itu kurang kuat. Tapi menurut Tere, ditambah dengan bahasanya yang terlalu lugas. Persis sepertinya yang tidak suka berbasa-basi. Dia merasa dialog yang digunakannya bagus, tapi narasinya tidak pernah terlalu panjang—dia tidak bisa menulis narasi yang berbunga-bunga layaknya penulis pada umumnya.

"Dialognya bagus. Tapi ceritanya terlalu bertele-tele. Mungkin lebih cocok dibuat sinetron," komentarnya pada diri sendiri.

Jadi dia memutuskan mencari tahu cara menulis sinetron—begitu dia menyebutnya, yang mengantarkannya pada satu website di internet.

Kini, Tere memegang print-out berisi istilah dalam penulisan skenario yang dia salin dari website itu.

Tak lama kemudian, satu setengah halaman bukunya sudah penuh dengan tulisan, tapi dia tampak ragu.

"Cerita apaan ini?!" Tere menutup buku itu dengan perasaan merana.

Kembali dia berselancar di internet sambil tiduran.

"Kak Irvan?" Dia segera duduk untuk membaca komentar Irvan di postingannya.

"Sini aku beli lagumu satu. Dua ratus ribu."

Tere terenyak, kemudian membalas komentar itu.

"Kalau buat kakak gratis hehe."

Tak lama kemudian, dia saling berkirim pesan dengan Irvan. Mulanya dia menanyakan tentang Lucky, dan berujung pada tawaran dari Irvan untuk nge-jam bareng TripleFive.

Tere bersemangat lagi, hanya sebelum melihat kalender yang tergantung di dinding. Karena setelah lebaran—yang kurang lebih satu bulan lagi, dia akan pergi ke luar provinsi, mencari pekerjaan selagi tinggal di rumah saudaranya.

"Seenggaknya mereka udah tau," kata Tere kemudian.

*****

Hari Sabtu, keluar juga Tere dari rumahnya. Dia dan keempat personel TripleFive—Danny, Firman, Gilang, dan Irvan, bermain musik di studio dekat rumah Gilang.

Tidak seperti di awal mereka bertemu, jamming hari itu terasa seru—mungkin karena ini akan jadi yang terakhir, pikir Tere.

Mereka membawakan beberapa lagu TripleFive dan satu lagu Tere.

"Sebenernya, aku masih pengen mulai lagi sama TripleFive. Tapi aku udah terlanjur setuju mau ke luar kota. Udah siap juga semuanya."—maksudnya adalah surat-surat yang sudah susah payah diurusnya di kantor terpadu, juga tiket bus yang sudah harus dipesan jauh sebelum lebaran.

Tere seringkali kesulitan menjelaskan sesuatu pada orang lain. Setiap kali ingin melakukannya seperti, kata-kata menghilang begitu saja dari muka bumi. Tidak ada yang mau dipakai.

Karena itu, siapa pun yang betah menjadi temannya sungguh orang-orang yang pilihan sabarnya. Apalagi kalau bukan harus menebak-nebak apa maksud kalimatnya yang super irit itu—yang kelihatannya memang belum selesai, tapi yang berbicara sudah kehilangan minat melanjutkannya.

Firman mengangguk mengerti. "Nggak apa-apa," katanya sembari mereka menuruni tangga ke lantai satu. "Setiap orang berhak menentukan pilihan hidup masing-masing."

Tere terenyak mendengarnya. Karena sampai lebih dulu, dia menunggu yang lainnya turun. Danny seperti biasa sedang bercanda dengan Gilang. Dan Irvan seperti biasa, selalu diam.

*****

Pagi ini, Tere duduk sendirian di kamarnya. Masih merenungi betapa egoisnya dia. Dan betapa bodoh menyia-nyiakan teman-teman seperti TripleFive.

Tapi dia sudah berjanji pada diri sendiri, akan menggunakan sisa waktu di kota ini untuk mencoba menulis skenario.

Dan hal pertama yang terpikir olehnya adalah pertemuan pertamanya dengan anak-anak TripleFive.

Saat itu mereka berkumpul di rumah Irvan, membahas lagu. Tapi ponsel Firman berdering, membuat laki-laki jangkung itu bergegas keluar untuk menjawab telepon.

"Kebiasaan." Gilang melirik Firman sebentar. "Dia itu mesti kayak gitu. Pacarnya mulu yang diurus. Udah tau kita lagi bahas band."

Dia lalu mendramatisir kekesalannya dengan kasus lain yang serupa. Irvan tersenyum kecil mendengarnya. Sementara Tere hampir tertawa, kembali melihat Firman yang masih berbicara serius di telepon.

Firman dengan gaya slengekannya.

Gilang dengan tanggung jawabnya.

Danny dengan keramahannya.

Dan Irvan dengan kediamannya.

Tere tersenyum mengenangnya, menuangkan kejadian itu ke dalam cerita yang dia buat. Mengubah nama, tempat kejadian, dan beberapa detail dari kejadian sesungguhnya, lalu menempatkan scene itu di bagian awal skenario.

Kebiasaannya ini berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian—di saat merasa sedih, kecewa, menyesal, atau segala jenis emosi negatif lainnya. Saat dia menulis, emosi itu seolah melebur menjadi kata-kata. Menulis cerita seperti halnya menulis lagu adalah tempat pelarian yang cocok untuknya. Pelarian yang sanggup mengubah rasa menjadi cerita, air mata menjadi tawa.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Lembayung Senja
Setya Kholipah
Flash
PELARIAN
Cassandra Reina
Novel
Bronze
My Name is Mawar
Renny Juldid
Novel
Lo Siento, Te Amo
silvha darmayani
Novel
Gold
Let's Break Up
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Pangeran Kelas
Coconut Books
Novel
Bronze
Memang Jodoh
Imajinasiku
Novel
CATATAN GELAP
Agung Wahyu Prayitno
Novel
Bronze
REYNA
Si Pena
Novel
Prìtel
Cece vania
Novel
Bronze
Imprisoned Voice
IyoniAe
Novel
Luka Tanpa Asa
Aijin Isbatikah
Skrip Film
Kita yang Terbuang dan Hilang
Onet Adithia Rizlan
Flash
KEGILAAN
Yadani Febi
Cerpen
Bronze
Sigod dan Rahasia Kebunnya, Ketika Tanaman Berbicara
go han
Rekomendasi
Flash
PELARIAN
Cassandra Reina
Cerpen
Perhatikan Rani
Cassandra Reina
Cerpen
FTV
Cassandra Reina
Skrip Film
PERFECT STALKER
Cassandra Reina
Novel
Bronze
TENAQUIN
Cassandra Reina
Skrip Film
SOULMATE
Cassandra Reina
Flash
Penghuni Baru
Cassandra Reina
Skrip Film
Black Rainbow
Cassandra Reina
Skrip Film
ANOTHER STORY OF PRINCESS
Cassandra Reina
Flash
Menjadi Musashi
Cassandra Reina
Novel
ADVENTRIX
Cassandra Reina
Cerpen
Hal Yang Lucu
Cassandra Reina
Flash
Zia
Cassandra Reina
Flash
Penghuni Baru (Part II)
Cassandra Reina
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina