Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Kilat Karma
0
Suka
623
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pada layar televisi tabung berwarna hitam itu, terpampang video yang sejak pagi sampai malam, terus-terusan dibahas oleh presenter berita maupun para ahli yang dijadikan narasumber dalam sesi tukar pendapat. Mereka lagi membahas berita yang banyak dibicarakan masyarakat Indonesia: Jenazah yang Malang, Korban Pedofil, dan Si Pembunuh

Dari layar televisi itu, tampak tiga sekawan: Adil, Jadi, dan Bombai. Wajah mereka di-blur, tetapi bagi perempuan muda berambut panjang kusut itu, tidak sulit untuk mengenali mereka.

Bombai korban ustaz bejat, sementara Adil dan Jadi sebatas saksi dikarenakan foto mereka ada dalam ponsel ustaz bejat itu.

Mendadak terdengar pintu diketuk-ketuk diiringi suara guntur dan kilatan.

“Iya,” sahut Kemangi.

Dan pintu kembali diketuk-ketuk, kali ini terdengar lebih keras, diiringi rintik-rintik air hujan yang menghujam atap seng rumahnya, sehingga terdengar kian riuh.

“Iyooo, sabar atuuuh.” Dan Kemangi menggapai gagang pintu, lalu membukanya. “Astaghfirullah, Mbak ….”

Perempuan yang kemarin-kemarin rambutnya panjang, hari ini rambutnya sebahu dan lurus. Ah, dia baru pangkas dan perawatan rambut. Kok, bisa, ya? Ah, kayaknya dia baru dapat jatah harian dari lelaki yang tak mampu ‘move Pan'.

“Aku tak mau tahu, Kem!” Nadanya begitu ketus. Dan perempuan itu main masuk, lalu menyaksikan siaran berita, dengan begitu seriusnya.

“Lagian siapa yang mau kejadiannya begitu, Mbak?”

“Untung rumah kita sebelahan, jadi aku bisa incer kamu kalau sampai anakku ada apa-apa.”

“Cuman jadi saksi, Mbak. Yang bikin geger itu beritanya, bukan—”

“Bukan apa? Bukannya perkampungan kita ini geger gegera mbak kandungmu itu? Enak benar bilang, ‘cuman jadi saksi’, Ndak lihat anakku wara-wiri masuk ‘tipi’?”

Kemangi melengos. Dia ogah berurusan lagi dengan Asri, tetapi tetangganya itu masih saja berdiri menonton perkembangan berita. Tanpa malu-malu Asri meraih ‘alat pengontrol tv’ yang tergeletak di sebelah televisi, lantas memencet sembarang tombol angka. Kemangi agaknya kesal melihat tingkah tetangganya.

“Lah, mereka lagi diwawancara sama wartawan?” Asri terkejut.

Kemangi enggan menanggapi saat melihat kedua orangtua Jadi ada di layar televisi. Belum satu jam kemudian, Asri mengancam kalau urusan anaknya sampai berlarut-larut, dia tidak akan tinggal diam, selepas itu dia pulang.

Seperginya sang tetangga, Kemangi ke dapur. Dadanya terasa sesak selepas mendapati sikap buruk dan sebuah ancaman. Dia menggapai gelas yang ‘pegangannya berbentuk setengah lingkaran’—tadinya bergelayut pada tiang kecil yang tertancap pada rak piring, lalu dia menggapai teko berisi air putih dan menuangkan isinya ke gelas. Namun, ketika dia melihat sebuah benda yang sejak pagi tergeletak di samping piring dan gelas kotor, pisau seolah-olah mengorek kenangan buruk.

[]

Kemangi ingat, dari pengakuan kakaknya, pisau daging yang sangat tajam disembunyikan di pinggangnya yang tertutupi pakaian. Waru mengajak Ustaz Mentari ke suatu tempat, lalu menikam dada kirinya. Selepas itu, memotong-motongnya menjadi 2000 bagian. Dia tidak membuangnya, melainkan menyerahkan diri ke polisi. Waru melakukan itu setelah mendengar pengakuan anak kesayangannya, Bombai. Sementara itu, tubuh-tubuh yang telah dimutilasi kecil-kecil, rupa-rupanya, penguburannya mendapat penolakan warga desa.

Pada akhirnya, dalam ketidakpedulian Kemangi pada nasib jasad ustaz pedofil, di sebuah bukit yang menjadi perbatasan wilayah kampung sebelah, tubuh terpotong-potong itu dikebumikan dengan sedikit pelayat mendoakan—ada perempuan berkerudung berkulit cokelat yang menitikkan air mata.

[]

“Ya Allah … cobaan-Mu. Yo opo Iki? Mbakyu aku begitu—” Duar! Suara dari kilatan petir membuatnya berhenti bicara. Gemuruhnya bak meruntuhkan langit, sampai-sampai suaranya seperti saling sahut-menyahut. Dan di antara riuhnya kilat, tanpa penduduk kampung ketahui, seratus kilatan petir secara berurutan menghujam kuburan Ustaz Mentari. Potongan-potongan tubuhnya yang terkubur sekian meter dalamnya pun matang. []

-TAMAT-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Flash
Kilat Karma
Athar Farha
Novel
Gold
Let's Break Up
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Hold My Fire
diannafi
Flash
Bronze
Jejak Kaki Kecil di Tanah Haram
CICIAIRA
Novel
Bronze
Hard for Me
Alifia Sastia
Flash
Halo? Kapan Kau Sebut Namaku Lagi?
Silvia
Flash
Bronze
Setelah Tidak Bermotor Lagi
Sulistiyo Suparno
Novel
PELOV
Khairul insan.A
Novel
Bronze
Manzilah Cinta
Khairul Azzam El Maliky
Cerpen
Bronze
Pesan maaf Inka
Desy Sadiyah Amini
Novel
Bronze
Kisah Tanpa Nama
Dinda Tri Puspita Sari
Novel
Goresan Pena Azmia (catatan kecil Bram)
R Hani Nur'aeni
Novel
Arwah Cinta Van der Ham
Ikhwanus Sobirin
Flash
Anosmia
MAkbarD
Novel
Katastrofe
Him
Rekomendasi
Flash
Kilat Karma
Athar Farha
Novel
DIFFERENT
Athar Farha
Novel
ISSUES
Athar Farha
Flash
Tumbuh dan Bersenyawa
Athar Farha
Flash
Janji Kayu Manis
Athar Farha
Flash
Hadiah Bawang Bombai
Athar Farha
Flash
Demi Adil yang Sulit Diraih
Athar Farha
Flash
Ritual Gerhana Bulan Merah
Athar Farha
Flash
Di Kala Senja dan Sebelum Senja Datang Kembali
Athar Farha
Novel
Panduan Menjadi Pelakor
Athar Farha