Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pada layar televisi tabung berwarna hitam itu, terpampang video yang sejak pagi sampai malam, terus-terusan dibahas oleh presenter berita maupun para ahli yang dijadikan narasumber dalam sesi tukar pendapat. Mereka lagi membahas berita yang banyak dibicarakan masyarakat Indonesia: Jenazah yang Malang, Korban Pedofil, dan Si Pembunuh
Dari layar televisi itu, tampak tiga sekawan: Adil, Jadi, dan Bombai. Wajah mereka di-blur, tetapi bagi perempuan muda berambut panjang kusut itu, tidak sulit mengenali mereka.
Bombai korban ustaz bejat, sementara Adil dan Jadi sebatas saksi dikarenakan foto mereka ada dalam ponsel ustaz bejat itu.
Mendadak terdengar pintu diketuk-ketuk diiringi suara guntur dan kilatan.
“Iya,” sahut Kemangi.
Dan pintu kembali diketuk-ketuk, kali ini terdengar lebih keras, diiringi rintik-rintik air hujan yang menghujam atap seng rumahnya.
“Iyooo, sabar atuuuh.” Dan Kemangi menggapai gagang pintu, lalu membukanya. “Astaghfirullah, Mbak ….”
Perempuan yang kemarin-kemarin rambutnya panjang sepinggang, hari ini rambutnya sebahu dan lurus. Ah, dia baru pangkas dan perawatan rambut. Kok, bisa, ya? Ah, kayaknya dia baru dapat jatah harian dari lelaki yang tak mampu ‘move on'.
“Aku tak mau tahu, Kem!” Nadanya begitu ketus. Dan perempuan itu main masuk, lalu menyaksikan siaran berita, dengan begitu seriusnya.
“Lagian siapa yang mau kejadiannya begitu, Mbak?”
“Untung rumah kita sebelahan, jadi aku bisa incer kamu kalau sampai anakku ada apa-apa.”
“Cuman jadi saksi, Mbak. Yang bikin geger itu beritanya, bukan—”
“Bukan apa? Bukannya perkampungan kita ini geger gegera mbak kandungmu itu? Enak benar bilang, ‘cuman jadi saksi’. Ndak lihat anakku wara-wiri masuk ‘tipi’?”
Kemangi melengos. Dia ogah berurusan lagi dengan Asri, tetapi tetangganya itu masih saja berdiri menonton perkembangan berita. Tanpa malu-malu Asri meraih ‘alat pengontrol tv’ yang tergeletak di sebelah televisi, lantas memencet sembarang tombol angka. Kemangi agaknya kesal melihat tingkah tetangganya.
“Lah, mereka lagi diwawancara sama wartawan?” Asri terkejut.
Kemangi enggan menanggapi saat melihat kedua orangtua Jadi ada di layar televisi. Belum satu jam kemudian, Asri mengancam kalau urusan anaknya sampai berlarut-larut, dia tidak akan tinggal diam, selepas itu dia pulang.
Seperginya sang tetangga, Kemangi ke dapur. Dadanya terasa sesak. Dia menggapai gelas yang ‘pegangannya berbentuk setengah lingkaran’—tadinya bergelayut pada tiang kecil yang tertancap pada rak piring, lalu dia menggapai teko berisi air putih dan menuangkan isinya ke gelas. Namun, ketika dia melihat pisau yang sejak pagi tergeletak di samping piring dan gelas kotor, pisau itu seolah-olah mengorek kenangan buruk.
[]
Kemangi ingat, dari pengakuan kakaknya; Waru, katanya, pisau daging yang sangat tajam disembunyikan di pinggangnya yang tertutupi pakaian. Waru mengajak Ustaz Mentari ke suatu tempat, lalu menikam dada kirinya. Selepas itu, memotong-motongnya menjadi 2000 bagian.
Waru tidak membuangnya, melainkan menyerahkan diri ke polisi. Waru melakukan itu setelah mendengar pengakuan anak kesayangannya, Bombai yang dilecehkan Ustaz Mentari. Sementara itu, tubuh-tubuh Ustaz Mentari yang dimutilasi kecil-kecil, rupanya, penguburannya mendapat penolakan warga desa.
Pada akhirnya, tubuh terpotong-potong si ustaz pedofil, dikebumikan dengan sedikit pelayat di perbatasan desa yang berupa perbukitan—ada perempuan berkerudung berkulit cokelat yang menitikkan air mata.
[]
“Ya Allah … cobaan-Mu. Yo opo Iki? Mbakyu aku begitu—” Duar! Suara dari kilatan petir membuatnya berhenti bicara. Gemuruhnya bak meruntuhkan langit, sampai-sampai suaranya seperti saling sahut-menyahut. Dan di antara riuhnya kilat, tanpa penduduk kampung ketahui, seratus kilatan petir secara berurutan menghujam kuburan Ustaz Mentari. Potongan-potongan tubuhnya yang terkubur sekian meter dalamnya pun matang. []
-TAMAT-