Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah menjalani bermacam pemeriksaan dari beda-beda dokter, Kayu Manis pun duduk di tepian tempat tidur kamarnya. Partikulat yang masuk dari jendela terbuka, dalam hitungan detik, membuatnya terbatuk-batuk, hingga ribuan droplet berguguran dan mendarat di tanah alasnya. Dari lubang-lubang kecil yang acak pada seng penutup atap kamar, cahaya leluasa masuk—satu di antaranya, jatuh tepat pada sepucuk kertas yang dipegangnya—dari dokter yang baru saja pergi.
[]
Berbulan-bulan sebelum Kayu Manis duduk di tepian tempat tidurnya.
“Saya bakal ngabulin tiga permintaanmu, Sri.”
“Yakin?”
“Ya, Sri. Pegang erat-erat janjiku ini.”
Asri tersenyum seraya malu-malu menatap Kayu Manis, yang kendatipun usia cowok itu baru dua puluhan tahun, berewoknya sudah kayak rumput lapangan sepakbola.
“Ikhlas apa ada maunya?” Asri memastikan.
Dan Kayu Manis mendekat selangkah. “Buat pacar sendiri, loh ….”
“Aku mau utang-utang ibu-bapak sama utangku lunas.”
Mendengar itu, Kayu Manis menelan ludahnya sendiri.
“Bisa?”
Kayu Manis mengangguk, “Bisa.”
[]
Lima bulan berlalu, Kayu Manis berhasil membayar utang-utang Asri dan calon mertuanya. Kayu Manis tidak menceritakan berbagai usaha pedihnya mengabulkan permintaan itu. Asri bahagia sekali sampai-sampai lupa ‘untuk tahu diri’.
[]
“Alhamdulillah, Mas, sumpah kamu serius dengan janji mengabulkan permintaanku,” ucap Asri seminggu kemudian.
Kayu Manis memaksa diri tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Namun, Asri tak sekalipun memahami mata sang kekasih yang bagaikan permukaan danau.
“Permintaan keduaku, renovasi rumah orangtuaku, ya, Mas.”
Kayu Manis mengangguk. “Siap!”
[]
Setahun berlalu, renovasi rumah yang dijanjikan Kayu Manis telah selesai. Calon mertua dan Asri girang banget di halaman depannya. Saking bahagia, ucapan ‘terima kasih’ kepada Kayu Manis yang berada di dekat mereka, tak kunjung keluar dari mulut mereka.
Kayu Manis yang merasa lelah pun pamit pulang. Dia balik badan, melangkah cepat-cepat dengan air mata yang tidak mampu dibendungnya. Bertepatan dengan itu, Asri memandang sang kekasih yang telah memunggunginya. Sungguh, tidak ada sedikit kepekaan dalam diri Asri.
[]
Hari-hari berlalu, Asri belum mengajukan permintaan terakhir. Namun, pada malam tahun baru, di bawah ledakan kembang api berbagai bentuk dan warna, Asri meminta putus.
“Kamu bercanda, Sri? Setelah dua permintaanmu saya kabulkan, begini balasanmu? Kamu, kan, belum mengajukan permintaan ketiga.”
“Aku mau putus sama kamu! Itu permintaan yang terakhir!”
Mendengar itu jantung Kayu Manis bak ditikam belati. Hidupnya yang selama mewujudnyatakan permintaan sang kekasih, bagaikan dipenuhi kelabu, saat itu menjadi benar-benar gelap. Bertepatan dengan putusnya hubungan meraka, ledakan kembang api berbentuk macam-macam kelopak warna-warni, luntur oleh rintik air hujan.
[]
Pernikahan Asri tersiar, dan tamu-tamu undangan berdatangan menghadiri akad nikahnya. Tidak lama berselang, orangtuanya, tetangga, kawan, bahkan Kayu Manis, mereka mendapati kabar Asri hamil. Namun, saat usia pernikahannya baru lima bulan, di dalam kamar—dari rumah yang telah direnovasi—Asri merasakan bayi dalam kandungan seolah-olah meminta keluar.
Benar saja, Asri melahirkan dan bayi dalam bopongan suaminya, dia beri nama Adil. Nama itu tebersit selepas Asri mengenang kilas balik, betapa dirinya mendapatkan banyak kebahagiaan dari sang mantan kekasih.
“Saranku namanya dikasih nama panjang, Sri. Bisa nyatut dari namaku,” saran suaminya, yang berambut tebal dan bergelombang menutupi daun telinga.
Asri tersenyum dan menyimpan rapat-rapat kenangan indah itu.
[]
Dan masih di tepian tempat tidur, Kayu Manis menatap hampa kertas dari dokter itu. Tiga janji mengabulkan permintaan mantan kekasih, pikirnya saat itu, Asri bakal meminta: Kayu Manis selalu ada untuknya, mau menikahinya, dan akan setia. Namun, permintaan Asri jauh dari itu.
Kayu Manis pun terkekeh-kekeh saat membaca tulisan diagnosis dokter, yang berada tepat di tengah kilau cahaya dari lubang kecil di atap: Penyakit Patah Hati. []
-TAMAT-