Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kalau bukan lebaran atau idul adha, tiga orang di dalam rumah sederhana itu, yang atapnya hanya menunggu satu kali gempa lagi dan dipastikan roboh, mereka mungkin tidak akan menyantap olahan daging maupun ikan saking miskinnya.
“Belum lebaran, Mak,” komentar Adil lirih.
“Weslah, dimakan aja!” Asri pun melahap paha ayam goreng, dengan menahan hatinya yang sakit banget.
“Dapat bonus, apa dikasih sama bos di pasar?” tanya Samsul, suaminya yang malas kerja, 'pengangguran tingkat dewa'.
“Tinggal makan banyak nanya,” ketus Asri.
Seandainya Asri punya sedikit saja keberanian untuk mengambil keputusan, demi kesehatan mentalnya, mungkin saat ini dia tidak akan duduk di hadapan anaknya yang sangat dia sayangi. Namun, sayangnya, Adil justru menyimpan kekaguman pada Samsul, yang dianggapnya ayah terbaik, hanya karena 'selalu ada' di kala Adil sedih maupun bahagia.
[]
Esok malamnya, Asri tengah berada di dalam kamar berbau penguk. Di atas ranjang kamar itu, lelaki gagah tengah telanjang bersimbah keringat. Lelaki itu memandang Asri yang tengah berganti pakaian.
“Nggak nyangka koe mau muasin saya, Sri.”
“Yang penting aku dapet duit darimu.”
“Kenapa tak dari dulu?”
Asri tak balas bicara, sebenarnya hampir bilang sesuatu, tetapi dia tahan. Pikirnya, dengan duit yang dia dapat dari mantan kekasihnya yang tak pernah bisa move on itu, dirinya bisa membahagiakan Adil dan bisa merebut hati anaknya yang sudah terlampau jauh diraih.
[]
Asri pulang. Ketika sampai dan masuk rumah, Asri melihat Adil tengah tidur memeluk Samsul. Di sudut kamar, Asri menitikkan air mata karena merasa dirinya tidak akan pernah mampu merenggut hati anaknya. [