Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah menutup panggilan telepon, Halina menemui Lio di beranda rumahnya. Terlihat wajah kusut Lio, membuat Halina menatap datar kekasihnya dari kaki hingga kepala.
“Kamu mau ngomong apa sama aku? Cepetan, aku lagi seru-serunya nih, ngobrol sama dia.” Halina menunjuk ponselnya yang menampilkan percakapan dirinya dengan ChatGPT. “Masih banyak yang mau aku tanyain sama dia,” lanjutnya.
Sekali lagi, Halina membuat Lio menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. “Halina, tolong, untuk kali ini aja, aku mohon, fokus dulu. Aku nggak mau ada HP dulu. Tolong boleh, ‘kan?” pintanya, memohon.
“Ya, udah,” desisnya, melempar ponselnya ke belakang tubuhnya. “Jadi, mau apa?” tanyanya, memandang malas pada Lio.
“Kamu, tau ‘kan kita mau bahas apa?” Lio balik bertanya.
“Mana ada aku tau!” bantahnya, sewot. “Oh, kamu mau permasalahin ChatGPT lagi? Aduh, please deh, males banget tau nggak, itu-itu aja yang dipermasalahin, nggak ada yang lain apa?” cerocosnya.
“Halina, kamu beneran nggak sadar sama permasalahan kita? Permasalahan kita bukan hanya itu aja, Halina. Kamu pasti tau, ini tentang kita, tentang hubungan kita!" balas Lio, penuh penekanan.
“Aduh, jangan banyak basa-basi deh, to the point aja, cepetan bilang, ada apa? Kenapa?” kilahnya, sembari menyibakkan rambut panjangnya.
“Halina!” Lio tanpa sadar berteriak, tapi kemudian dia menyadari tak seharusnya ia lalui ini dengan emosi, ia merenung sebentar, lalu menatap wanita di depannya ini sekali lagi. “Halina, asal kamu tau, sejam yang lalu, niatku buat bicarain hubungan kita masih tinggi, bahkan tadi malam aja aku masih berpikir buat pertahanin kamu. Tapi, liat kamu yang kayak gini, nyepelein permasalahan kita, aku kecewa, Halina,” akunya.
“Hm, terus?” Halina benar-benar tidak memperdulikan setiap kalimat yang keluar dari mulut kekasihnya ini, di pikirannya malah berkeliaran pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakannya pada mesin AI itu, maka jangan salahkan Lio, jika suaranya sempat meninggi tadi.
“Halina, aku ini apa buat kamu?” tanya Lio, masih berusaha menahan emosi. “Aku dari tadi mikir, masih pantas nggak, aku pertahanin kamu? Aku bahkan jadi ragu, Halina, kamu pernah berjuang nggak buat kita? Selama ini aku rasa, cuman aku aja yang berjuang di hubungan kita, aku juga mau ka—“
“Terus, maunya gimana?” potong Halina. “Mau putus? Udahan aja, gitu?” tanyanya, terlontar begitu saja tanpa memperdulikan perasaan Lio. “Putus aja, udah lama nggak sejalan lagi kok, kita,” katanya, dingin.
Tawa hambar dari Lio mengudara. “Kok, gampang banget, ya? Emang bener ternyata, cuman aku aja yang berjuang di sini, cuman aku yang peduli sama hubungan kita!" serunya.
"Lebay," cibir Halina.
"Apa kamu nggak ada niat sedikit pun, buat pertahanin hubungan kita? Kayaknya semua yang aku lakuin buat kamu, nggak bisa buka pikiran kamu, ya?” tuturnya, mengabaikan cibiran Halina, yang masih jadi kekasihnya itu.
“Apa sih? Kamu bertele-tele banget, kamu maunya aku gimana? Nangis, meraung-raung gitu, atau kamu mau liat aku guling-guling di lantai, minta kamu buat bertahan sama aku? Aduh, nggak deh, kamu jangan naif, kalo mau putus, ya ayo aja, nggak usah bawa-bawa alasan nggak masuk akal,” seloroh Halina, memandang tajam pada Lio.
“Jadi, beneran kayak gini, ya? Segini aja, balasan yang aku dapet atas semua perjuangan aku?” Lio terkekeh.
“Hm, emang kayak gitu aja kok, kenapa? Apa mau minta ciuman terakhir? Atau jangan-jangan, mau nanti aja, sekalian minta jatah mantan?” tanya Halina, kurang ajar.
“Ya Tuhan, Halina.” Lio mengepalkan tangannya, menahan segala gejolak emosi yang sudah berada di ujung kepala. “Ya udah, kalo itu yang kamu mau, kita break aja, sebelum semuanya terlalu jauh,” putus Lio, tegas.
“Oke!” Halina bersorak. “Udah, ‘kan? Aku mau lanjut lagi nih,” katanya, enteng, dibalas dengan anggukan berat dari Lio. “Ck, lama deh kamu, ngomong gitu doang,” decaknya, kemudian Halina kembali ke dalam rumah, meninggalkan Lio seorang diri dengan hati yang teramat nyeri.
“Baji—"
Bruk
Sebelum umpatan Lio terucap sempurna, suara bantingan pintu lebih dulu memotong. Lio mengusap wajahnya, menatap nanar ke arah pintu. Terbayang olehnya, wajah yang selama ini selalu ia banggakan, yang selalu mengisi mimpinya, hilang begitu saja.
Entah harus bagaimana ia menyikapinya nanti, setelah Halina menggerus kesungguhannya, setelah Halina menampar kepeduliannya, dan setelah Halina menginjak-injak rasa cintanya.