Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Itu adalah salah satu tatapan dalam saat Bintang menyorot lurus ke arah Saga. Laki-laki itu pandai membawa diri, berada di depan mempresentasikan hasil tugas luar biasanya di kelas-yang sudah dipastikan nilainya pasti A+. Berkebalikan dengan Bintang yang belum tentu mampu berbicara lancar di tengah hadapan semua orang menatapnya tajam. Kalau sudah seperti itu, waktu seolah berhenti dan Bintang merasa di ruangan tersebut hanya ada dirinya dan Saga. Aneh kan?
"Gue penasaran, umur lo berapa Bin?"
Bintang melirik sekilas ke arah Rara, menyempatkan diri menyeruput es tehnya sejenak. "24 mau 25, Ra. Gue mahasiswi gapyear." Kantin adalah satu-satunya tujuan bagi mereka menghilangkan rasa kelaparan setelah padatnya mata kuliah pagi sampai siang.
"Hah! Demi apa?! Udah lewat 1 semester dan gue baru tahu!" Giliran Tari yang bersuara. "Nggak kelihatan banget. UI ini impian lo banget ya?" Mengingat Tari sanggup menembus kampus bergengsi tersebut dalam sekali percobaan.
Bintang menaikan satu alis tidak mengerti, "Pake nanya." Aura kejutekannya keluar begitu saja.
"Gapyear 4 tahun?" Rara menengahi.
"Hmmm," gumam Bintang tidak memperjelas.
"Gue sih kalo jadi lo pilih Univ lain Bin." Lagi, Tari menambahkan. "Secara, kita harus ngejer umur orangtua kan? Kalo udah di Univ lain, lanjut aja langsung S2 atau kerja, kenapa repot-repot, abis itu bisa langsung nikah. Gampang. Nggak mubazir umur juga."
Kadang-kadang, ketika situasi sedang memojokkan Bintang dengan pertanyaan seperti ini, ia berubah menjadi tidak berdaya. Kebingungan harus membalas apa sedangkan ada banyak-ada begitu banyak penjelasan yang bila Bintang jelaskan malahan seperti ia sedang mencari-cari alasan pembenaran. Karena, karena apa yang dikatakan Tari tidaklah salah.
"Mau gapyear ataupun enggak selama itu impian Bintang, terserah dia." Itu bukanlah jawaban Bintang, bukan juga jawaban Rara. Suara itu berasal dari suara berat Saga memotong ikut campur pembahasan mereka. Saga membawa tiga kertas pemberitahuan untuk dibagikan ketiganya. Dan ini juga alasan mengapa Bintang selalu menjatuhkan sorot utuh matanya ke arah Saga. Mirip seperti magnet-tidak bisa lepas-selalu terhubung jika sudah dipertemukan. Sebab Saga mempunyai sikap berani mendebat yang tidak dimiliki gadis bernama Bintang itu. Empati sederhana namun menjerat seperti rantai kuat.
"Iya sih." Tari mengangguk tak bisa berucap lagi.
Bintang bersyukur bahwa ia menyukai lelaki baik yang benar. Dan rasa-rasanya seolah-olah Saga persis seperti kupu-kupu yang tidak tahu keindahan sayapnya sendiri. Jadi, beritahu Bintang alasan apa agar ia tidak menyukai lelaki itu, sedangkan sikap dan sifatnya sudah mengikat Bintang sampai seperti ini.
* * *
"Saga," Bintang memanggil, menghindari tatapan Saga saat lelaki itu beralih dari bacaan buku sains dan menatapnya.
"Hm?"
"Gue... i-ini misal, misalnya aja, inget baik-baik ini misalnya aja." Peluangnya adalah 50 banding 50, kendati demikian Bintang ingin mencoba peruntungannya.
"Ya, terus?"
Bintang merapatkan bibir, berkedip, lalu memantapkan hati. "Misalnya ya, misalnya ada cewek yang sikapnya itu kayak gue, terus suka sama lo... misal!!" Rasa panas menjalar di wajah Bintang tak tersamarkan. Dia melanjutkan buru-buru. "...lo bakal risih nggak sama dia?" Dan saat kalimat selesai, tatapan Bintang berubah serius, dan menduga-duga bahwa...
...bahwa seandainya jawaban Saga menyakiti hatinya, ia berjanji, ia akan menjauhi Saga, semudah seperti dulu ketika ia mudah menyukai orang lain dan mudah juga melupakan perasaannya. Bintang yang paling tahu, sekurang apa perempuan tidak bisa apa-apa sepertinya ini. Jadi...
...jadi... tidak masalah kalau Saga menolaknya, atau seperti ia mempunyai kriteria wanita idamannya sendiri-yang tentunya bukanlah ia jawabannya.
"Kalo cewek itu bisa ngubah dirinya jadi lebih percaya diri buat nunjukkin bakat yang dia punya, mungkin gue bisa pertimbangin." Saga terlihat tidak berpikir kala membalas pertanyaan Bintang. Keteduhannya membuat dunia Bintang tertuju padanya.
"Gimana kalo sampe akhir dia tetep nggak bisa apa-apa, nggak punya kelebihan apa-apa, nggak bisa menonjol seperti lo yang pinter dalam segala hal?"
Saga tersenyum, senyum paling manis yang pernah dilihat Bintang sampai-sampai Bintang sadar bahwa rasa suka Bintang sudah berbeda ketika ia 'mudah suka' ke orang lain sewaktu SMA dan ketika suka hanya dengan Saga. "Coba dulu," Satu kalimat akhir yang menciptakan hantaran listrik kecil di perut Bintang, jantung gadis itu seketika berdetak tak karuan. Detik itu, Bintang bersumpah bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga menumbuhkan perasaan suka Saga sampai di titik di mana perasaan itu berubah tak terkendali, seperti yang sedang ia rasakan saat ini.