Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suatu malam, ular yang kelaparan menemukan katak gemuk terdiam dekat bebatuan.
Tahu akan dimangsa, si katak tidak melarikan diri, justru menikmati detik-detik si ular menuju arahnya. Ular jadi heran, laparnya seolah hirap.
Semakin dekat, ular justru bertanya kepada katak dan bukan melahapnya bulat-bulat.
"Mengapa kau tidak kabur?"
"Kau terlambat, Ular. Alexithymia telah memakanku terlebih dahulu. Jika kau memakanku, aku tidak akan merasa sakit. Karena aku juga tidak bisa merasakan emosi apa-apa."
Ular terdiam sejenak, kemudian berkata menantang. "Mari kita buktikan. Aku akan memakanmu sekarang juga, dan rasakan sakitnya."
Katak menyetujui. Seperti perkataan awal, dia amat yakin meski tubuhnya berpindah di mulut ular, dia mati rasa. Katak menganalogikan dirinya cangkang hidup.
Hanya sebatas kedipan mata manusia, katak sudah dalam mulut ular.
Si ular menelan katak, dan saat turun ke perut, katak baru merasakan dirinya tersedot sedikit demi sedikit bersama napasnya yang tidak lagi leluasa.
Katak menerima rasa sakit pada menit terakhir dia bernapas. Ular merasa puas, karena setidaknya ia telah berbuat baik. Mengapa? Katak tidak bisa merasakan emosi apa-apa; marah, sedih, dan kecewa, tapi ternyata katak masih punya rasa sakit ketika tubuhnya terluka. Katak hanya tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaannya saking terlalu banyak terpendam.
Maka demikian, ular telah membantu katak mencicipi namanya sakit. Lagipula menurut ular, dalam pertarungan hidup, setidaknya ada jeda dimana dirimu mesti mengalami kesakitan. Entah sakit hati, sakit fisik, sampai kacau pikiran disebut sakit. Dan kini katak tak lagi kesakitan. Ini akan menjadi wajar.
"Memiliki emosi negatif dan tidak tahu cara membuangnya sungguh melelahkan, bukan?
"Ah, omong-omong rasa tubuhmu lezat sekali, Katak. Semoga kau ditempatkan di surga Tuhan."