Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kalau ada lorong waktu. Aku ingin pergi ke masa lalu" Dia menatap tajam remang cahaya lampu di Cafe seberang.
"Kalau kamu ingin pergi ke masalalu, artinya kamu tidak menginginkan masa kini. Termasuk kamu tidak ingin aku ada disini"
Dia tersenyum, menatapku dengan rasa bersalahnya.
"Aku hanya ingin memperbaiki masalaluku. Itu saja, tidak bermaksud mengingkarimu"
"Ya sudah lah terserah kamu" Nada bicaraku memelan, aku pasrah dengan pemikirannya.
Dia memang keras kepala sekali. Usianya sudah di atas tiga, kepalanya cukup keras selama ini memikirkan bagaimana teori relativitas itu memproduksi portal waktu. Dia selalu tidak merasa sempurna, termasuk akan diriku.
Tahun lalu, dia bertemu dengan Mr. Andrew, seorang peneliti yang mampu mengembangbiakkan sel telur melalui partenogenesis, hasilnya cukup mencengangkan. Lahir seekor anak tikus dari embrio yang bisa bertahan tanpa dibuahi. Diam-diam dia ingin menjadi tikus Mr. Andrew. Tetapi kubilang padanya, aku tidak ridho dia melakukan hal gila itu. Tahun ini, dia sudah menopouse di usianya yang belum 40. Mungkin itulah jawaban atas doaku agar dia tak memikirkan "Adakah yang berbuah diantara perkawinan kami?" Karena kupikir, buah hati bukan penentu kebahagiaan rumah tangga.
Aku pasrah, sehabis percakapan itu, aku merelakannya pergi, lagi berkomplot dengan kawanannya. Kabar burung bilang, rekannya Mr. Andrew ingin bekerjasama dengannya dalam melakukan penelitian lanjutan dari proposal tentang teori relativitas. Mana kutahu dengan teori membingungkan itu, yang membuat istriku terus mengeluh tanpa bisa bersyukur.
Sudah tujuh tahun kami bersama dalam mahligai pernikahan. Dia menyerahkan kesuciannya kepada lelaki kotor sepertiku. Mungkin saja dia ingin mengubah takdir cintanya, jika dia tak mau mencampuri telurnya dengan gametku. Terbukti sampai sekarang pun, kami hanya berdua saja. Perkawinan gamet kami tak berbuah. Entah karena begitu banyak telur yang kukawini, atau memang telurnya tidak mau berkawin denganku.
Suara getar di handphoneku berbunyi membuyarkan tidurku yang dalam kesendirian ini. Kutemukan beberapa rangkaian tulisan pada Inbox Whatssap dari yang bernama Isteri. Kubaca dengan penuh saksama.
"Kausalitas. Aku hanya ingin memperbaiki penyebab, hingga akibatnya yang sekarang ini menjadi bukan rintangan kita. Bukan! Bukan kamu penyebabnya, sayang. Diriku sendiri. Aku ingin memperbaiki diriku di masalalu, agar sempurna untukmu yang sekarang, untuk mahligai kita. Aku tinggalkan kamu sementara, aku ingin tahu bagaimana diriku yang subur ini dicumbuimu di saat muda. Aku ingin menghentikan penderitaanmu karena penyakitmu yang bisa saja membuat kita berpisah untuk selama-lamanya. Akan ku pastikan aku hanya bergerak dalam kecepatan cahaya, secepat itu juga aku kembali padamu nanti, entah dalam usia yang ke berapa"
Airmataku begitu menderas membasahi pipi. Kusesali apa yang telah kuperbuat sebagai suami. Tidak! Aku tidak berbuat apa-apa. Hanya diam menatapnya terus bekerja dengan penelitiannya yang membuatku pusing kepalang, masih mending jika hanya sebagai dosen fisika. Saat itu pun aku diam seribu bahasa, takut akan profesinya yang diagung-agungkan orang. Maka kupikir, aku berdiam-diam darinya menyatu dengan banyak telur adalah hal yang lumrah dilakukan seorang lelaki kesepian.
Aku tidak akan mengejarnya sampai mendatangi masalalunya. Agar dia tahu, kesempurnaan tidak ada pada diriku, pada dirinya, juga tidak ada pada cinta kami. Bukankah dia mengakui bahwa dia tak sempurna? Tetapi mengapa dia tetap berpangku pada dirinya, bukan pada-Nya?