Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Halina terbaring di sofa, asyik memainkan ponselnya. Ibu jarinya lincah di papan ketik, bercakap-cakap dengan chat robot yang akhir-akhir ini sedang ia gandrungi, sampai-sampai mengabaikan orang-orang terdekatnya.
"Apa yang harus aku makan?" tanyanya, seraya tangannya mengetikkan setiap ucapan yang dilontarkannya pada kolom percakapan yang tertera. Tidak perlu menunggu lama, jawaban pun datang. "Aha! Benar, aku lagi pengen yang berkuah-kuah, pinter banget deh kamu," serunya.
Mendapat jawaban itu, Halina langsung beranjak ke dapur, ia mulai memasak masakan yang berkuah sesuai instruksi yang diberikan robot percakapan tadi.
Tangannya terus mengaduk, sedangkan matanya tak lepas dari ponsel. Halina berburu informasi dari setiap pertanyaan yang dilontarkannya pada chat robot itu. Puas dengan jawaban yang didapat, Halina beralih menanyakan kondisi tubuhnya pada chat robot itu.
"Ah, benar, akhir-akhir ini aku terlalu banyak memikirkan hal yang tidak berguna, aku stres juga. Kamu bener, aku butuh istirahat. Wah, nggak nyangka deh, makin ke sini, kamu makin ngerti aku. Jadi pacar aku aja, nggak sih?" ujarnya, seolah-olah berkomunikasi dengan manusia nyata.
Dia selalu percaya dengan informasi yang ia dapat dari mesin buatan manusia itu, padahal kondisi tubuhnya kurang sehat dikarenakan dirinya kurang tidur, sebab terlalu banyak menggunakan ponsel di malam hari.
Setelah tiga puluh menit, makanan pun akhirnya siap disantap. Meskipun rasanya sedikit asin, tapi Halina menikmatinya tanpa terganggu sedikit pun, pasalnya robot percakapan yang tak lepas dari matanya, memberinya pujian atas keberhasilan Halina membuat makanan.
Halina tunduk dan patuh pada jawaban mesin itu, sampai ia mengabaikan pesan-pesan yang masuk, bahkan Halina selalu menggerutu ketika notifikasi ponselnya tak sengaja menginterupsi percakapan dirinya dengan chat robot itu.
Hingga tiba-tiba saja, ia bertanya, "Bagaimana cara keluar dari hubungan toxic?" mesin percakapan itu segera menjawab. "Oh, aku harus jauhin mereka? Kayaknya emang udah seharusnya, udah lama juga aku bergaul sama mereka. Ah, memang cuma kamu yang paling berguna di hidup aku, terima kasih lah, terus seperti itu, ya?" ujarnya.
"Nak, ayo temani Ibu, keluar sebentar!" teriak ibunya yang baru keluar dari kamar.
Halina menoleh sedikit. "Tidak mau, ah, kata ChatGPT hari ini bakalan hujan, Bu. Aku nggak ikut dulu deh, males harus bawa payung," tolaknya.
Ibunya langsung melihat keluar. "Hujan dari mana, Halina? Di luar panas gini, masih musim kemarau pula. Hujan apanya? Hujan duit?" celetuk ibunya, menggelengkan kepala.
"Ih, kok Ibu nggak percaya sama aku, kata ChatGPT gitu Ibu! Mungkin awan hujannya belum sampe ke sini," kilahnya, tak terima.
Ibunya menghampiri Halina, bertolak pinggang. "Semuanya aja kamu tanyain sama tuh chatGPT, kenapa nggak sekalian aja kamu tanyain Ibu matinya kapan?" geram ibunya.
Halina menurut, ia langsung bertanya pada chat robot itu. "Ibu, chatGPT bilang, umur Ibu bakalan panjang, kalo nggak marah-marah terus, jadi stop marah-marah, Ibu jangan stres juga, itu bikin pendek umur," katanya.
"Ya Tuhan, Ibu nggak habir pikir sama kamu, bisa-bisanya."
"Nggak usah dipikirin Ibu, aku udah dapet jawaban kok dari chatGPT," balasnya.
Ibunya mendengus, lelah dengan sikap anak perempuan satu-satunya ini. "Pantes aja pacarmu sampe marah, Halina. Ibu tau sekarang alasannya, emang udah seharusnya dia marah," ujar ibunya.
"Ih, ibu nguping ya?" Halina terkekeh. "Dia cemburu tau, Bu. Dia cemburu sama chatGPT, nggak masuk akal 'kan, Bu?"
"Kamu yang nggak masuk akal, Halina." Suara ibunya meninggi. "Siapa yang nggak marah, kalo kamu kayak gini, Halina? Sadar nggak, kamu yang salah di sini?"
"Kok Ibu malah bela dia, sih? Harusnya bela aku, aku anak Ibu, jahat banget."
Di tengah suasana yang mulai menegang itu, ponsel Halina berdering. Ternyata, Lio, kekasihnya yang menghubungi.
Halina pun langsung menerima panggilan telepon itu dalam keadaan marah.
"Apa?!" sentaknya.