Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di ruangan yang sunyi, Lio memandang lelah pada kekasihnya yang tengah asyik dengan ponselnya itu. “Kamu selingkuh lagi? Nggak capek apa kayak gitu terus? Sampai kapan kamu mau kayak gini? Nggak ada bosennya aku liat-liat,” protes Lio, jelas frustrasi melihat kelakuan kekasihnya itu.
Halina, kekasihnya itu, menghela napas, memutar bola matanya malas. “Kenapa kamu ngomongnya gini lagi sih? Bisa nggak sih kamu ngertiin aku, sekali ini aja, aku juga butuh ruang,” sungutnya.
Lio yang mendapat balasan seperti itu, hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian ia tajamkan tatapannya pada Halina. “Aku udah coba ngertiin kamu berkali-kali, kurang apa lagi? Please, ini waktu kita, aku udah luangin waktu buat ketemu kamu, aku buru-buru ke sini biar bisa sama kamu. Jadi tolong, untuk kali ini aja, fokus dulu sama kita, sama aku,” ungkapnya, suaranya sarat akan keputusasaan.
Lio sudah beberapa hari ini tidak bertemu dengan Halina, wajar ia kesal dan kecewa ketika melihat Halina mengabaikannya, bahkan asyik dengan dunianya sendiri.
“Kenapa kamu bikin semua ini jadi rumit sih? Seolah-olah aku udah ngelakuin kesalahan besar, padahal aku di sini, nggak pergi ke mana-mana juga,” protes Halina, merasa tak habis pikir dengan pria yang sudah dipacarinya lebih dari dua tahun ini.
“Memang bener, kamu ada di sini, sama aku, bahkan di samping aku, tapi perhatian kamu tuh ke mana-mana, asyik sendiri, kamu nggak liat aku. Kamu sadar nggak sih, dari tadi kamu diemin aku?” keluh Lio.
“Apaan sih? Aku nggak diemin kamu, kapan aku kayak gitu? Gimana maksudnya perhatian aku ke mana-mana? Aneh deh kamu,” sangkal Halina. “Coba jelasin deh, Sayang,” pintanya, mendayu manja.
Lio tersenyum hambar, kecewa sekali. “Kamu dari tadi terlalu fokus sama HP kamu, kayaknya nggak sadar masih ada aku di sini kalo aku nggak negur. Kamu juga nggak bales semua pesan aku, kamu tau nggak gimana khawatirnya aku? Aku buru-buru beresin kerjaan, terus ngebut ke sini, takut terjadi apa-apa sama kamu. Tapi apa yang aku dapetin sekarang, kamu malah sibuk sama HP kamu, nggak peduliin aku, nggak peduliin keberadaanku. Ini nggak adil, Halina,” papar Lio, dia sudah kepalang jengkel dan frustrasi.
Halina tergelak hatinya, ia tertawa keras, membuat Lio bingung dengan apa yang didapatnya itu. Halina tak percaya dengan pengakuan pria kekar ini, menurutnya ini hanyalah masalah sepele.
Halina tidak tau saja, ketika di tempat kerja tadi, Lio sulit sekali untuk berkonsentrasi, ia cemas, takut terjadi hal buruk pada kekasihnya. Lio melihat ponselnya setiap waktu, menunggu balasan dari Halina dengan cemas. Dia sungguh sudah jatuh terlalu dalam pada Halina, Lio takut sekali kehilangan kekasihnya itu. Tapi, apa yang ia lihat hari ini, sungguh membuatnya marah, kekhawatirannya menjadi sia-sia.
“Kamu kenapa sih? Kenapa kamu kayak gini coba? Apa kamu cemburu karena aku ngobrol sama ChatGPT? Kamu cemburu?” tanya Halina, setelah tawanya mereda.
Lio membuang wajahnya, ingin sekali ia berteriak, mengamuk pada kekasihnya, tapi ia berusaha tahan, Halina tidak mengerti akar permasalahannya ternyata. “Iya, aku cemburu!” jawabnya, setengah meninggi suaranya. Dari sekian banyak hal yang ingin ia katakan, Lio hanya mampu menjawab itu, padahal hatinya sudah gondok tak terbendung.
Halina memegang wajah Lio, dan menghadapkannya padanya. “Serius? Kamu cemburu? Ini cuman ChatGPT loh padahal,” tanya Halina lagi, ia masih tidak percaya mendapati kekasihnya merajuk hanya karena teknologi buatan manusia itu.
“Ya, aku cemburu,” jawabnya, mengabaikan senyuman geli dari Halina.
“Kamu cemburu sama ChatGPT? Ini cuman mesin buatan manusia, kamu cemburu? Kita bahkan nggak tau ‘kan siapa yang ada di balik itu. Sayang, jangan kayak gini lah,” kelakarnya, masih belum menangkap pokok permasalahannya.
“Udah tau itu cuman mesin, kenapa kamu percaya banget sama dia? Kenapa kamu asyik banget main sama dia? Aku kurang apa, Halina? Bilang, Halina, bilang!” katanya.
“Karena dia tau segalanya,” jawab Halina dengan polosnya. “Dia jawab semua pertanyaan aku, bahkan yang nggak masuk akal sekalipun, dan dia peduli banget sama aku, kamu harus tau itu,” katanya, menampar hati Lio sekali lagi.
“Itu cuman mesin, Halina, robot buatan manusia, kamu bisa diemin dia, dia nggak akan marah, nggak akan kecewa, nggak punya perasaan. Aku di sini yang punya perasaan, Halina, aku!”