Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah Innova keluaran terbaru berjalan terbata melewati jalan bebatuan yang rawan. Seperti anak perawan yang menjejaki dunia percintaan untuk pertama kalinya, mobil mewah itu terguncang oleh kondisi jalan kampung yang renta.
"Akhirnya sampai juga," ucap seseorang yang keluar dari mobil. Senyum di wajahnya mekar akan harapan.
"Sudah terlalu lama. Lima? Sepuluh? Atau lima belas tahun?" kata seseorang yang menunggunya di halaman rumah. Seorang lelaki tua dengan tongkat di tangan, dan peci hitam menutupi mahkotanya.
"Maafkan aku. Waktuku terlalu sempit," jawab lelaki muda pemilik mobil Innova.
"Dan sekarang? Apa yang membawamu pulang, Dirno?"
Dirno tertunduk lesu. Ingatannya teralihkan pada jalan kampung yang kondisinya mampu menciptakan goyangan dangdut dadakan. Pun pada wajah-wajah beberapa orang yang ia temui di sepanjang jalan pulang.
"Inikah alasanmu pulang kampung?" tanya lelaki tua itu seraya membuka selebaran seukuran buku gambar cucunya.
"Aku hanya ingin berguna. Dan jalan ini adalah yang paling tepat, Pak."
Lelaki tua itu tersenyum kecut. Ingatannya kembali pada waktu dua puluh tahun yang lalu. "Kau pernah berguna dan bapak bangga padamu. Tapi tidak setelah itu. Dan tidak dengan sekarang."
Dirno mengangkat wajahnya. Pandangannya tertuju ke sekitar. Halaman rumah dan jalan telah dipenuhi banyak orang. Sialnya, lelaki tua itu justru menahan langkahnya tepat di halaman. Kutbah yang sudah terlalu sering didengarnya terus berkumandang dari mulut lelaki tua itu.
"Pak, selanjutnya aku akan berguna. Dan akan selalu begitu. Ini hanya jalan. Cara kita untuk sampai pada manfaat itu," jelas Dirno.
"Caramu ini adalah sebuah kutukan. Kau sudah lebih dulu membayar hak-hak orang kampung ini. Lalu setelah itu apa?"
"Hanya mempermudah. Dan mereka perlu bantuan. Apa yang salah dengan itu?"
Lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Maksud hatinya tidak tersampaikan pada Dirno, putranya. Bayang-bayang kemelut pahit di masalalu terus bermain dalam otaknya.
Lima tahun yang lalu. Ia harus 'membelah diri' dengan menyumbangkan hak pada orang lain. Dan di saat itu pula, saudaranya harus mengutuknya dengan kata-kata penghianat. Kemudian ia sadar, telah kehilangan banyak hal setelah pesta lima tahunan itu.
"Jadi, begini cara paling tepat untuk pulang?"
"Bapak tidak akan paham. Setidaknya banyak orang yang mengharapkan aku bermanfaat," jawab Dirno. Kemudian ia masuk tanpa peduli lagi apa komentar lelaki tua itu--orang yang seharusnya berada di barisan paling depan untuk mendukungnya.
Di depan pintu, seseorang mengalungkan bunga ke leher Dirno. Di sebelahnya, seorang lelaki paruh baya mencoba menjelaskan beberapa hal disertai gerakan tangan yang lihai. Beberapa orang bahkan telah menyambutnya di dalam rumah. Senyum di wajah orang-orang itu cukup manis.
"Ayo kita masuk, Pak? Anak sendiri hendak mencalonkan, seharusnya bapak yang lebih berbahagia."
"Begitukah alasan tepat untuk pulang?" tanya lelaki tua itu. Namun, suaranya hanya semilir angin dingin yang dihindari. Suasana di dalam rumah lebih mampu mencuri perhatian setiap orang yang muncul di halaman rumahnya.