Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Tuliskan alur cerita yang bagus untukku, mari kita bertukar tempat. Biarkan aku menjadi tokoh di cerita yang kamu tulis." Memandangku skeptis, dia, perempuan itu membuang muka sesudahnya. "Tolong aku, aku mohon...."
"Kamu memohon seolah-olah akan mati besok." Tanggapannya di luar jangkauan, maka aku menangis lagi. Aku tahu bahwa akan ada satu persepsi tambahan darinya tentangku; cengeng.
"Apakah dunia nyata begitu menyakitimu?"
"Sangat. Dia menekanku setiap hari. Ayolah, kita tukar tempat. Aku ingin sepertimu yang bisa tegas, mengatakan enggak atau mampu melabrak orang kalau kamu nggak suka. Aku ingin."
"Berhentilah menjadi bodoh." Dia yang sebelumnya tak acuh, kembali memberi atensi dengan memandangku lagi. "Aku nggak yakin apakah aku akan kuat sepertimu. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku udah nggak ada, nggak akan terdengar keluhan, tinggal nama."
Mata yang sudah banyak air tidak terlalu jelas melihat wajahnya, mendengar kata-kata yang keluar dari dia sungguh menyinggung ego.
"Kamu juga, nggak akan mampu menjadi aku di dunia fiksi. Jangan kira hidup dalam sekotak dunia palsu itu mudah, aku harus selalu menjalankan kehidupan sesuai apa yang pengarangnya mau. Memang kamu sudi hidupmu diatur-atur dari hal terkecil sampai kesukaanmu? Kamu bahkan nggak bisa mengubah tingkahmu kalau si pengarang nggak menuliskan perubahan. Tapi di dunia nyata? Kamu bisa mengubah apa pun yang kamu mau."
"Tapi kita nggak bisa mengubah masa lalu."
"Itu lain cerita, Bodoh." Menekan satu kata terakhir, alih-alih sakit hati, aku merasa memang pantas mendapatkan kata kasar. Terkadang, kekasaran dari seseorang bisa membuat kita sadar akan suatu hal. "Di duniaku juga masa lalu nggak bisa diubah, tapi seenggaknya di duniamu, kamu berhak untuk menjadi lebih baik. Kamu bisa mencegah hal-hal busuk merebut pikiran cemerlang, intinya kamu bisa mengendalikan dirimu sendiri. Aku? Nggak bisa."
Demi Tuhan, aku ingin memeras air mata sampai habis. Jelas-jelas aku tahu bahwa sesuatu yang baik pasti datang kendati hal buruk begitu membabi buta menyerangku hingga memar. Aku hanya lelah bersabar.
"Kamu bisa tegas kalau mau, kamu bisa memaki orang kalau mau. Jadi nggak perlu menjadi aku, kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Dimulai dari kamu. Itu saja. Sederhana, 'kan? Nggak ada yang sepertimu, nggak akan ada yang sanggup menjadi kamu, percaya deh."
Percakapan kami terhenti di sana. Iya, terhenti, bukan berhenti, karena aku baru mengingat secangkir kopi di atas meja depan mata.
Dia amat setia menunggu tanpa suara. Menungguku kembali pada dunia nyata. Segera, aku menyeruputnya pelan-pelan, menikmati sensasi pahit serta manis, tidak lupa asam menyusul.
Ah, bukankah hidup juga selayaknya rasa kopi?