Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ibu merampasnya dariku, lalu berkata, “Jangan dimakan yang ini!”
Aku yang sedang duduk bersila di depan televisi mendongak ke arah Ibu yang sedang berdiri dan berkata, “Ibu, aku kan sudah mengupasnya. Kenapa memangnya?”
“Biar Ibu yang makan.” Ibu melahap pisang yang telah aku kupas. “Anak gadis yang belum menikah tidak boleh makan pisang yang ada di bagian ini.” Ibu menunjuk bekas bagian pisang yang aku ambil dan bagian lain—bagian pisang yang ada dipinggir. “Nanti tidak ada lelaki yang melamarmu! Pamali!”
Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Ah, Ibu … aku tidak percaya,” ucapku sembari mengambil sisi lain dari cengkeh pisang, kali ini bukan bagian pinggir.
“Makan saja!” ucap seseorang dari belakangku. “Itu hanya mitos!”
“Nah … aku lebih percaya Nenek.”
“Dulu aku melarangmu memakan bagian pinggir karena bagian itu lebih besar di bandingkan bagian yang lain,” ucap nenek mengelus pundak Ibuku.
Nenek duduk di sampingku dan mengambil satu cengkeh pisang yang ada di atas meja. “Coba perhatikan!”
Aku memperhatikan pisang yang ada di depanku. “Wah, nenek benar …. Ternyata bagian pinggirnya lebih besar. Wah ibu, bilang saja Ibu mau bagian yang lebih besar.”
“Haha,” tawa Ibu. “Ibu hanya menyalurkan tradisi. Lagian perutmu kecil. Tak muat untuk memakan pisang ini.”
“Ah …. Ibu,” sanggahku. Aku mengambil bagian pinggir pisang yang masih tersisa. “Siapa bilang aku tidak bisa menghabiskannya?”
Kami lanjut menonton televisi sembari melahap pisang “raja” yang dibelikan Ayah tadi pagi.