Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak pernah menyangkah bahwa sebuah perdebatan kecil bisa menjadi besar, mungkin memang kami berdua egois, tidak ingin mendengar keinginan masing-masing.
Dan ketika aku berlari sendirian, duduk di sebuah taman yang kosong hanya ditemani oleh angin malam, kini aku tahu, harusnya aku tidak perlu begitu, aku tidak perlu memaksakan keinginanku padanya.
Seharusnya, aku bisa mengerti perasaannya, seharusnya aku bisa menjaga harga dirinya.
Kesalahanku adalah, harga diri yang terlalu tinggi, aku selalu mengutamakan diriku sendiri tanpa berpikir bahwa mungkin aku bisa melukai perasaannya.
Ketika aku membutuhkannya dia selalu datang tanpa berpikir panjang, tanpa memikirkan identitasnya, tapi aku terus saja mendorongnya menjauh.
Apa yang salah denganku? Apa karena golongan darahku yang terkenal membawa gen keras kepala? Atau memang ada DNA yang rusak dalam diriku hingga membuatku selalu keras kepala.
Aku menyesal, aku cukup menyesal. Dia kini tidak lagi meresponku, meskipun aku membuat postingan bahwa aku sendirian dan kedinginan, hanya teman-temanku yang membalas dan khawatir dengan keadaanku, tapi dia, dia tidak merespon apa-apa.
Mungkin ini memang hukuman yang pantas untukku, bahwa terkadang aku harus ditampar dengan keadaan supaya mengerti.
Dia selalu menjadi kontak darurat yang aku hubungi ketika membutuhkan seseorang, tapi, ketika dia membutuhkanku aku tidak pernah ada di sana untuknya.
Apa aku benar-benar pantas untuknya?
Haa, bahkan air mataku mulai turun, tapi kini semua telah terlambat, mau aku menangis sebanyak apapun, dia tidak akan kembali.
Dia pasti sudah membenciku.
Dengan berat hati, aku bangun dari kursi taman itu berdiri dan berjalan pulang.
Tapi.
Aku rasa aku berhalusinasi.
Mataku yang masih berkaca-kaca, aku menghapus air mata itu supaya aku bisa melihat lebih jelas.
“Kamu pergi gitu aja dan gak nelfon aku sama sekali.”
Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengan apa dia benar-benar mengkhawatirkanmu sekarang?
“Aku tadinya gak mau kesini, tapi aku hampir mati nunggu telfonmu.”
“Ku pikir kamu gak mau terima telfonku lagi.”
Dia menggelengkan kepalanya. “Semarah apapun aku, aku gak mungkin ninggalin kamu, kita berdua gak mungkin berpisah.”
Aku kembali menangis, bagaimana tidak sekali lagi dia memaafkan keegoisanku, memaafkan sifatku yang keras kepala.
“Maaf, aku gak akan begitu lagi.”
Dia berjalan mendekat lalu memelukku, tidak lupa dia mengelus kepalaku dengan lembut.
“Jangan berjanji hal yang gak bisa ditepati, tapi usahakan supaya kamu gak begitu lagi, gak baik kalau kamu terus-terusan keras kepala.”
Aku hanya mengangguk dan memeluknya lebih erat.