Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kenapa pilih kamera analog?"
"Suaranya itu bikin candu. Terutama waktu rewind pas film udah habis. Nanti coba kita dengarkan ya," kata si fotografer dengan senyum lebar.
Ia kemudian membimbingku menuju ke ruangan cuci film yang terpencil di belakang studionya. Ruangan ini cenderung gelap, hanya diterangi cahaya lampu merah yang menyala redup di sekeliling. Tercium bau pekat kimia dari cairan pengembang film. Aku memandang ssekeliling, beberapa kertas foto tampak tergantung memenuhi seisi ruangan.
"Fotografi potret itu tidak hanya sekadar menangkap wajah seseorang. Kita ingin menangkap ekspresi, emosi, kepribadian, bahkan esensi tersembunyi yang tidak dapat diungkap oleh mata manusia," terangnya.
Ia menunjuk potret seorang anak perempuan yang menangis seraya berbisik, "Cantik, kan?"
Aku mengangguk setuju. Hasil foto-foto si fotografer ini memang terkenal sangat ekspresif dan kaya warna. Lihat saja, anak perempuan dalam potret ini tampak nyata, seolah-olah jiwanya hidup dalam lembar foto tersebut dan aku dapat mendengar tangisannya.
"Sebagai fotografer kita harus bisa menciptakan jendela antara dunia nyata dan dunia lain, untuk mengungkap hal-hal yang tersembunyi itu. Seperti mendekati batas antara hidup dan mati," katanya dengan nada yang penuh teka-teki.
Si fotografer memberiku isyarat untuk segera duduk di sampingnya, "Ayo kita dengarkan suara merdu yang jadi canduku."
Kami duduk dalam keheningan. Ia mulai mengatur kamera analog tua itu dengan penuh kasih. Ia menarik handle rewind, lalu mulai memutar handle dengan gesekan lembut. Saat handle diputar, terdengar suara khas dari gulungan film yang melilit dan kembali ke dalam selongsongnya.
Tik. Tik. Tik.
Setiap putaran handle memberikan nuansa ketegangan, seakan-akan kita memutar kembali waktu untuk menyelami momen-momen yang baru saja diabadikan. Suara film yang melilit terasa seperti nyanyian kecil, menyiratkan bahwa setiap putaran itu adalah sebuah langkah menuju ke dalam alam bawah sadar potret yang tersembunyi.
Dengan penuh perhatian, si fotografer terus memutar handle, matanya tampak terfokus pada kamera seakan-akan menikmati alunan musik. Saat handle diputar lebih lama, suara yang semakin keras terdengar seperti harmoni yang terpadu menjadi satu, menggambarkan suatu paduan suara yang unik. Sementara itu, aku mengerutkan dahi dalam upaya menyelami suara yang tengah tercipta. Suaranya terdengar seperti nyanyian opera dengan nada tinggi yang merdu dan menggetarkan.
Si fotografer tiba-tiba terdiam sejenak. "Tinggal beberapa strip lagi yang ada potret dirimu. Sebentar lagi kamu akan mengerti rahasia di balik ciri khas karya saya," katanya sambil berbisik. Ia menatapku lekat, matanya menunjukkan kegembiraan dan misteri yang menyelinap di baliknya.
Tik. Tik.
Tiba-tiba, dunia seolah-olah mulai berputar, seakan ditarik oleh kehampaan yang terbuka lebar. Jiwaku terasa seperti tersedot dan dihisap oleh kekuatan tak terlihat. Suara nyanyian yang tercipta dari lilitan film, kini menggema keras di telingaku. Dan aku menyadari bahwa itu sebenarnya adalah jeritan manusia. Tanpa sadar aku ikut berteriak, memekik sekuat tenaga, menyatu dengan jeritan yang terdengar.
Dalam sekejap segalanya menjadi hening, hanya terdengar suara napas diikuti deretan suara tik, tik. Momen magis baru saja berlangsung, seseorang telah lenyap menyisakan si fotografer beserta kamera analognya di ruangan itu. Ia tersenyum lembut, hanya ujung bibirnya yang terangkat, memberikan sentuhan misteri yang tak terpecahkan.
Cekrek.
Suara kecil itu menjadi isyarat proses rewind film telah selesai dengan sempurna. Setiap frame film telah telah tersusun dengan cerdik dalam selongsongnya.
Akhirnya, si fotografer membuka bagian belakang kamera analognya, lalu mengambil gulungan film yang terpasang dengan hati-hati. Ia menutup kembali bagian belakang kamera, memberikan sentuhan lembut sebagai penutup ritual ini.
----
Suasana dalam ruangan itu begitu sunyi, hanya dihiasi oleh gemuruh di luar yang sesekali menembus tembok. Dalam remang-remang cahaya merah, sebuah galeri terbentuk dengan lembaran-lembaran foto yang tergantung di dinding, menciptakan suasana magis.
Di salah satu lembaran foto itu, terbayang citra diriku yang terperangkap dalam waktu. Akhirnya aku paham akan rahasia keindahan karya si fotografer. Kini aku dan jiwaku terabadikan dalam dunia yang tercipta dalam bingkai foto tersebut.