Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dalam kegelapan malam, aku tiba di puncak sebuah gedung setinggi 27 lantai. Di sana, seorang perempuan melongokkan kepalanya di ujung atap. Tanpa ragu, aku mendekat dan ikut melihat jalanan di bawah gedung. Seonggok tubuh manusia sudah tergeletak di jalan, tak bergerak.
"Aku mendorongnya," ungkap perempuan itu tanpa basa-basi. Matanya masih tertuju pada jalanan di bawah, rambut hitam panjangnya melambai tertiup angin, wajahnya tenang seolah tidak ada yang terjadi.
"Akankah kamu melaporkanku pada polisi?" tanyanya tanpa memandangku
Aku mengibaskan tangan, "Ah, tidak."
"Baguslah."
"Aku tak punya alasan untuk melaporkanmu. Dan aku sudah terbiasa dengan hal ini," jelasku tanpa diminta.
Aku duduk di pinggir atap yang terbuat dari semen, dengan kaki menggantung. Malam ini, seperti malam biasanya. Kendaraan melintas di jalanan walaupun jam menunjukkan tengah malam. Gedung perkantoran yang biasanya ramai, sekarang sepi, hanya menyisakan lampu-lampu yang menyala. Dari kejauhan, cahaya kuning rumah-rumah menandakan penghuninya sudah terlelap dalam mimpi. Di sini, hanya ada aku dan seorang perempuan, dengan tatapan hampa, menatap kedamaian kota pada saat malam hari.
"Bukankah kematian itu hal yang biasa bagi manusia?" aku mencoba memulai percakapan.
"Iya, ini bukan kali pertama aku berhadapan dengan kematian," ujar perempuan itu dengan senyum getir.
"Oleh karena itu, aku sudah tidak takut lagi dengannya."
"Apakah itu sebabnya hingga kamu melakukan itu?" tanyaku.
"Wanita itu?" ia terkekeh dan menunjuk tubuh yang tergeletak jauh di bawah kami.
"Dia takut akan kematian, tapi ingin mengakhiri hidupnya," terangnya geli.
"Dia takut rasa sakit meregang nyawa, padahal dia sudah mati rasa dengan derita hidup. Dia mencoba menyayat pergelangan tangannya, tapi tak tahan dengan rasa perih teriris. Dia ingin menelan puluhan pil, tapi menelan satu butir obat saja sudah sulit. Bukankah mati itu hal yang tak sulit selama ada keinginan kuat? Kalau ingin mati overdosis, ya blender saja semua pilnya dan minum jusnya. Atau bisa juga lompat dari gedung, kematian pasti akan datang dengan cepat," lanjutnya.
Aku hanya bungkam mendengar penjelasannya.
"Lalu dia setuju dengan ideku untuk lompat dari gedung, karena sepertinya ini cara yang paling minim rasa sakit. Tapi ketika sudah berdiri di sini, siap untuk melompat, dia menangis, mengeluh akan takut menjadi pendosa dan masuk neraka."
Perempuan itu menghela napas. "Aku lelah mendengar keluhan dan rengekannya, tapi juga kasihan dengan hidupnya yang pahit. Menurutku, mengakhiri hidup adalah satu-satunya pilihan yang dia miliki."
"Akhirnya, aku dorong tubuhnya hingga jatuh dari gedung ini. Bukankah dengan ini, dia tidak akan berdosa, melainkan aku?" ia menatapku lekat, menunggu persetujuanku.
Aku hanya tersenyum tipis. Aku tidak mengiyakan atau menentangnya. Bagaimanapun juga, aku tak punya hak untuk menghakimi, bukan?
"Ngomong-ngomong, apa yang kamu lakukan di sini? Apakah kamu juga ingin melompat?" tanya perempuan itu tiba-tiba.
"Aku? Bukan, bukan. Aku hanya datang untuk mengambil nyawa wanita itu," jawabku.
"Ohh," mulutnya ber-ohh pelan seolah memahami maksudku. "Jadi apakah dia sudah mati sekarang?"
"Belum, sebentar lagi. Sampai aku selesai menuliskan namanya di buku kematian," jawabku sambil mengeluarkan buku kecil dan sebuah pena dari sakuku.
Kugores ujung pena pada sebuah halaman kosong, dan dari sudut mataku, aku menyadari perempuan itu mencoba mengintip tulisanku. Namun, ia tersentak ketika berhasil membaca dengan jelas, "Eh, bukankah itu namaku?"
Aku tersenyum. "Iya, ini namamu. Dan wanita yang tergolek di bawah itu, adalah tubuhmu."
Kemudian, BASH! Sosok perempuan di sebelahku, yang sebelumnya tembus pandang, kini menghilang--seakan-akan ditebas begitu saja oleh angin malam.