Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berjalan merentangkan tangan, menyusuri pendar-pendar lampu putih yang berderet rapi di tengah aspal gelap. Setiap pendar kuhitung satu per satu--sepuluh, sebelas, dua belas. Berjarak 30 meter di kanan-kiriku, berderet lampu kuning berkilauan mengawal langkahku. Di ujung sana, barisan lampu merah melintang, menandakan akhir landasan.
Pernah aku bertanya, "Kenapa runway lights begitu spesial buatmu?"
"Karena romantis," kelakarmu. Halah, semua hal tentang penerbangan selalu kau sebut romantis.
"Serius dong."
"Aku serius. Lampu-lampu ini yang membimbingku pulang ke daratan. Ingat, a safe flight..."
"…Begins and ends on the ground," potongku. Kutipan favoritmu yang selalu kau ulang berulang kali di telingaku.
"Pesawat itu alat transportasi paling canggih. Dia bisa membawa kita terbang ke tempat terjauh di bumi," ujarmu penuh kagum.
"Tapi ketika mendarat, kita bergantung pada lampu-lampu ini yang hanya diam di landasan," tambahmu.
"Kamu harus lihat betapa cantiknya runway lights yang kulihat dari kokpit ketika mendarat," kau menatapku lekat. Binar matamu tidak pernah padam ketika kau bercerita tentang penerbanganmu. Setiap kali itu, aku jatuh cinta.
Tiga belas, empat belas, aku masih menghitung pendar lampu putih di landasan. Terdengar auman mesin dari ujung langit senja. Bayang burung besar menyelami langit dengan gagahnya. Awan-awan gelap seakan menyingkir, memberi jalan pada sang penguasa. Lihat, kau dan pesawatmu kembali!
Penumpang sudah duduk dengan sabuk pengaman terkencang. Tirai-tirai jendela sudah terbuka sepuluh menit yang lalu. Kru pesawat sudah siap di tempatnya masing-masing. Tanganmu dengan mantap memindahkan pegangan flap dan pesawat menukik ke bawah. Beberapa penumpang membelalakkan mata, kaget dengan orientasi pesawat yang mendadak berubah. Sebagian lain memejamkan mata sambil berkomat-kamit, mengharap pendaratan yang sempurna.
Namun, kau tetap yakin dan selalu tenang. Sudah ratusan penerbangan kau lalui, terlatih dengan setiap prosedur. Kau menarik tuas dengan mantap, roda-roda pendaratan memanjang, pesawat siap menyentuh bumi. Lalu tiba-tiba, terlihat lampu-lampu terang berderet seperti pita yang siap menarikmu turun ke landasan. Suara komat-kamit penumpang semakin keras saat roda terhentak menyentuh padatnya aspal. Akhirnya ketika pesawat berjalan lambat di landasan, hembusan napas lega dan bisikan puji syukur terdengar dari kabin.
Aku berlari menyusuri landasan, mencoba mendahului hidung pesawat. Aku tak sabar ingin bertemu dan memelukmu!
Segera setelah pesawat berhenti, wajahmu terlihat di balik jendela kokpit. Aku melambaikan tangan, "Hei!" Pandangan kita bertemu, senyummu merekah.
"Hei, aku sudah pulang lagi. Aku rindu," bisikmu.
"Aku lebih rindu darimu! Selamat atas pendaratan yang sempurna!" teriakku.
Aku tahu kau tidak bisa mendengar atau melihatku lagi. Tapi tak apa, aku akan terus menunggu di sini bersama pendar-pendar lampu yang indah ini. Kami akan selalu membimbingmu pulang ke bumi dengan selamat.