Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ibu pernah bilang; laki-laki barangkali 'tahu saja' begitu ia menemukan belahan jiwanya, tapi bagi perempuan, kita tak akan pernah tahu bahkan jika ikrar sehidup semati sudah diucapkan.
Tapi aku sudah lama berseberangan dengan ibu, aku sudah tak peduli lagi apakah ibu benar atau tidak. Aku hanya tahu, aku harus tetap waras sepanjang ibu masih bersikeras untuk menemukan belahan jiwanya.
Ibu, sulit sekali menjelaskan tentangnya. Perempuan tangguh yang masih percaya jika suatu hari kelak akan menemukan seseorang yang akan menemaninya menua bersama. Padahal usianya sudah 49 tahun, dan itu bukan usia yang bisa digolongkan muda.
Aku tak ingin menceritakan bagaimana jalinan kisahnya dengan Ayah, bagaimana ia berakhir menikahi seorang lelaki tua yang meninggalkannya saat aku masih dalam kandungan, lalu membawanya kepada banyak pelukan lelaki tanpa pernah percaya bahwa lelaki itu adalah belahan jiwanya. Itu bukan kisah yang menarik, bahkan cenderung tak masuk akal untukku.
Sudah pesan tiket?
Pesan Ibu masuk lagi.
Belakangan Ibu mulai gencar menghubungiku, entah sejak kapan momen lebaran menjadi sesuatu yang kami rayakan dengan berkumpul. Sehingga dengan tak absennya Ibu mengingatkanku untuk mudik.
Aku membiarkan pesan itu, tak ada gunanya mendebat Ibu, ia selalu benar. Padahal sudah tiga tahun aku tak pernah lebaran di rumah dan Ibu tak pernah protes, kali ini juga belum tapi ia selalu memastikan bahwa aku akan pulang tahun ini.
Mau aku pesankan tiket?
Pesan berikutnya masuk. Lama aku mengamatinya, mencari satu dua makna dari kebaikan yang ditawarkan. Kali ini bukan dari ibu, tapi dia. Lelaki yang seharusnya, ah sudahlah.
Aku tak pulang.
Begitu aku menekan tombol kirim, layar ponselku kini berganti menjadi sebuah panggilan. Aku menatapnya lama, membiarkannya hingga panggilan itu berhenti.
Sudah tiga tahun, pulang ya!
Pesan masuk lagi. Kali ini aku membiarkannya. Membiarkan semua yang seharusnya tak pernah kembali dalam diriku.
---
Sudah lima hari ini pesan Ibu tak datang, aku juga tak ingin bertanya. Hanya saja ada yang mengusik hatiku, rasa penasaran akan sikap Ibu yang tiba-tiba gencar dan tiba-tiba berhenti.
Hari ini terakhir kali aku ke kantor sebelum cuti lebaran, besok lusa jika hilal tampak, sempurna lah sudah empat tahunku tak lebaran bersama Ibu.
Ran, aku tahu kamu tak ingin pulang. Tapi kamu harus tahu, Ibumu di rumah sakit.
Sejenak napasku berhenti. Seketika semuanya menggelap, sekuat tenaga aku mengendalikan diri, begitu kesadaran itu penuh lagi praktis aku membuka aplikasi pemesanan tiket, dan nihil. Lebaran sudah dekat, pastilah rute penerbangan untuk hari ini dan besok penuh.
Aku menarik napas dalam, begitu aku melepaskannya seluruh memori itu menyeruak. Segala hal tentang Ibu seperti kaset yang berputar dalam kepalaku. Bagaimana ia berteriak marah saat aku tak makan sayur, bagaimana ia menangis saat aku mengatakan tak akan pernah hidup sepertinya, bagaimana ia... Sebelum genap semua cerita itu tumpang tindih di ingatanku, satu pesan masuk lagi.
Ran, jika sedikit saja kamu memaafkan Ibumu, juga aku, pulanglah!
Terlampir satu dokumen, aku membukanya, penerbangan hari ini. Aku berlari menuju lemari, mengambil pakaian seadanya.
Delapan jam kemudian aku sudah di sini. Lorong rumah sakit yang begitu sepi, bahkan tak ada yang berlalu lalang. Ini sudah pukul dua pagi, aku baru saja bertemu Ibu. Wajah cantik itu kini sudah lebih tua dari yang aku ingat, mungkin karena Ibu kini jauh lebih tirus.
"Makasih, tiketnya."
Dia mengangguk kecil. Dengan gerakan kepala ia memintaku duduk di sampingnya.
"Ibumu selalu bilang, suatu hari kamu akan pulang."
"Itu bukan rumahku," Ada jeda yang panjang dalam kepalaku, jeda yang memberikan batas rumah dan pulang yang tak pernah satu dalam diriku.
"Kenapa? "
"Kamu tak akan mengerti, terlalu sulit menjelaskannya."
Aku mencintaimu, dulu seperti itu. Tapi kamu tidak, kamu membiarkan aku merasakannya sendirian bertahun-tahun. Padahal kamu bersikap seolah aku adalah perempuan paling berharga di dunia. Hingga semua itu hancur dengan rumah yang kamu tawarkan.
"Karena aku?"
Aku menelan ludah. Menarik napas pelan, menghembuskannya. Aku menoleh padanya, bukankah semua hal jelas, haruskah aku melafazkannya dalam kata-kata?
"Ya, karena seharusnya kamu tak pernah menikahi Ibuku."
selesai