Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Wah, bagus banget cincinnya Bu Ratna, pasti mahal nih," seru Bu Zainab begitu melihat cincin yang melingkar di jari manis Bu Ratna.
Si pemilik cincin pun tersenyum sumringah dan dengan murah hati melepas cincinnya untuk di oper-oper kesana kemari dan dikagumi oleh ibu-ibu yang sedang berkumpul di teras rumah itu.
"Ini beneran berlian asli, Bu?" tanya Bu Lina, si pemilik rumah yang menjadi tempat tongkrongan mereka.
"Iya dong, baru dibeliin Mas Bagus kemarin, hadiah anniversary kita," sahut Bu Ratna dengan wajah berseri.
Decakan kagum terdengar silih-berganti, sementara itu Bu Sulis yang duduk disudut hanya melirik sekilas tanpa tertarik untuk ikut-ikutan meraba.
"Wah, beruntung banget sih, Bu. Suaminya masih romantis aja nih meski anak udah tiga," celetuk Bu Marni disampingnya.
"Harus dong. Eh, bukannya suami kamu juga baru pulang urusan bisnis dari luar kota ya? pasti dibeliin oleh-oleh juga kan?" Bu Ratna mulai kepo.
"Ah, cuma jam tangan kok, gak semahal cincinnya Bu Ratna lah," jawab Bu Marni merendah.
"Jam tangan juga kalo merek terkenal bisa lebih mahal dari cincin, Bu." Bu Lina ikut menimpali.
"Iya, tapi saya sebenarnya lebih senang kalau dibeliin kulkas baru sih, yang kayak punya Bu Zainab kemarin."
"Emang Bu Zainab beli kulkas baru? Perasaan baru dua bulan lalu ganti kulkas." Bu Mayang yang sejak tadi diam kini ikut nimbrung.
"Kulkas yang lama kami kirim buat mertua di kampung Bu Mayang, soalnya agak kekecilan. Saya bilang ke suami buat beli yang lebih besar aja, biar banyak muatnya," jelas Bu Zainab.
"Ohh, pada lagi banyak rejeki nih ibu-ibu, ada yang beli cincin, jam tangan, kulkas. Lah saya nabung mau beli mesin cuci gak kesampean dari bulan lalu," curhat Bu Mayang.
"Bu Mayang gak pengen kredit sih, coba kalo kredit kan langsung datang barangnya. Kayak Bu Lina tuh, baru dua hari lalu ngajuin kredit motor, sekarang udah ada di garasi tuh motornya," sahut Bu Marni.
Bu Sulis hanya bisa tersenyum kecut mendengar keseruan obrolan para tetangganya. Apa mau dikata? Uang dari suaminya hanya cukup untuk kebutuhan pokok sehari-hari.
Bu Lina yang disinggung soal kredit motornya pun segera menyahut. "Yah, kita-kita ini kan hanya ngarepin jatah bulanan dari suami, jadi kredit aja. Bu Mayang yang punya penghasilan sendiri mah nabung sebulan dua bulan juga langsung bisa beli cash."
"Yah, untung juga ada yang ditunggu tiap bulan kan, dari pada gak ada sama sekali, bisa berasap otak kita," timpal Bu Ratna diiringi tawa berderai ibu-ibu yang lainnya.
Bu Sulis yang merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan sejak tadi kini memutuskan untuk segera berpamitan.
"Saya balik duluan ya ibu-ibu. Mau jemput si adek, udah hampir waktunya pulang ngaji ini."
Ibu-ibu yang sejak tadi asyik berbincang seolah baru tersadar akan kehadirannya, kemudian serempak mengangguk-angguk.
"Oh iya Bu Sulis, silahkan," kata Bu Zainab mewakili yang lainnya. Bu Sulis pun mengangguk sopan sebelum beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
"Eh tunggu, Bu Sulis, barenglah, saya juga mau jemput si Ihsan," seru Bu Mayang tergopoh-gopoh ingin menyusul Bu Sulis.
"Cepet amat jalannya, Bu," ujar Bu Mayang saat berhasil menyusul Bu Sulis meski sambil terengah.
"Biar cepat sampai."
"Uhm ... Ngomong-ngomong, saya mewakili ibu-ibu yang lain minta maaf lho kalo Bu Sulis gak nyaman sama obrolan kayak tadi."
"Ah, minta maaf apa sih, Bu. Gak ada yang salah kok," kilah Bu Sulis menutupi kemuraman suasana hatinya.
"Ya, soalnya semua kan tau keadaan ekonomi Bu Sulis kayak apa, tapi masih suka aja pamer beli ini itu di depan Bu Sulis."
"Ya gak papa, itu hak mereka kok. Emang nasib saya gini. Suami cuma kerja serabutan, gak ada pemasukan tetap tiap bulan. Bisa makan sehari-hari juga udah syukur kok. Yah, walau kadang-kadang iri juga sama kalian yang bisa beli ini itu."
Bu Mayang tersenyum kecil. "Iri itu kan manusiawi, boleh-boleh aja asal jangan dengki. Saya kasih tau ya, Bu Sulis juga punya hal yang bikin iri semua ibu-ibu disini."
"Ah, Bu Mayang ini ngawur aja, mana ada yang bisa diiriin dari saya, Bu. Hidup pas-pasan gini kok."
"Yang pas-pasan kan ekonominya, tapi suami Bu Sulis kan gak pas-pasan."
Bu Sulis langsung mendelik tak percaya, mendadak waspada seolah mendapat ancaman tak terduga. Bu Mayang terkekeh geli melihat reaksi Bu Sulis.
"Duh, jangan suudzon dulu Bu. Saya dan ibu-ibu lainnya gak naksir suami Ibu. Cuma ya itu, kita iri karena Bu Sulis dapet suami yang begitu pengertian dan perhatian."
Bu Sulis mendengus. "Tapi Bang Imron kan gak seperti suami ibu-ibu yang bisa beliin barang-barang mewah."
"Mungkin benar, tapi suami yang mau bantu-bantu kerjaan rumah kayak suami kamu itu langka, lho. Kami sering lihat sendiri kadang suami kamu bantu jemur pakaian, nyapu halaman, atau sekadar ngelap kaca rumah. Malah pas kamu sakit bulan lalu, suami kamu mau aja tuh nyapu, ngepel, nyuci, bahkan masak buat kamu sama anak-anak kalian. Coba aja tanya sama ibu-ibu yang lain, ada gak suami mereka yang kayak gitu? Jangankan bantu ngerjain kerjaan rumah, kami udah bersyukur banget kalo lagi habis makan itu, suami punya inisiatif naruh piringnya sendiri di wastafel, gak ngarep dicuci juga," cerocos Bu Mayang panjang lebar.
Bu Sulis tertegun, tampak berpikir dan kemudian berujar, "Jadi Bu Mayang beneran gak naksir bang Imron kan?"
"Ya, enggaklah! Saya cinta mati suami saya!" Bu Mayang sewot.
Bu Sulis tertawa kecil. "Iya, percaya."
Dalam hati Bu Sulis berjanji mulai sekarang akan memperlakukan suaminya lebih baik lagi. Cukup sudah rasa iri membuatnya terlambat menyadari bahwa rejeki sudah di takar ilahi, tugasnya adalah mensyukuri apa yang sudah diberi bukan menyayangkan hal yang belum bisa dimiliki.