Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Glasgow Coma Scale
1
Suka
6,416
Dibaca

Kesadaran yang mulai menurun di akhir waktu jaga malam, rasa kantuk tak tertahankan membuatku sejenak tertidur dan terbangun kembali berupaya mengumpulkan nyawa ketika mendengar alarm sholat shubuh. Sedikit membantu mengurangi rasa kantuk dan pusingnya kepala karena terjaga semalaman. Waktu menunjukkan pukul lima pagi, saatnya mengambil senjata sebelum berkeliling ke setiap kamar untuk memeriksa keadaan pasien, menanyakan keluhan dan mencatat tanda-tanda vital terkini. Setengah bagian kosong kertas hvs sisa operan jaga pertukaran shift siang ke malam kemarin masih terasa cukup untuk diisi dengan total 7 pasien bagianku, sisanya 8 pasien dipegang oleh partner jagaku Abang Tegar. Kami bekerja di ruang rawat inap anak, yang cukup membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Bukan sesekali mood kami menjadi korban situasi, stres adalah makanan sehari-hari.

Pasien anak hari ini rata-rata mengalami DHF (dengue hamorrhagic fever) atau awamnya disebut demam berdarah, memang sedang rentan terjadi. Dimana anak-anak sekolah sedang libur dan cuaca sering hujan terkadang bersuhu panas. Selain perubahan suhu lingkungan yang berisiko akan mempengaruhi kenyamanan serta imunitas tubuh, namun juga lingkungan bermain anak yang terkadang tidak aman serta sulit diperkirakan, sehingga bisa tergigit nyamuk penyebab demam berdarah.

"Gina kamu tahun ini belum ambil cuti sama sekali ya?," ucap Bang Tegar sambil berjalan mendekati meja perawat (nurse station) lalu meletakkan alat kesehatan yang telah ia gunakan.

"Belum bang, tapi sudah aku ajukan buat akhir tahun ini, mau jengukin kakak, sekalian main. Semoga aja di acc sama bagian manajemen." Jawabku sambil tersenyum tipis, meragukan pengajuanku yang akan disetujui. Karena biasanya banyak agenda rumah sakit pada akhir tahun.

"Wih, kakakmu yang lanjut beasiswa S2 di NUS itu?. Asik lah, jalan-jalan naik pesawat." Gurau Bang Tegar.

"Iya bang, mumpung dibayarin. Katanya sekalian hadiah akhir tahun. Tumben banget, padahal kemarin cerita kerja part time buat tabungan nikah." Jawabku sambil membereskan meja dan catatan persiapan sebelum operan jaga malam kepada yang jaga pagi.

"Haha, abangmu tahu adeknya stres kerja ngurus pasien tiap hari." Ucap Bang Tegar sambil tertawa.

"Semua pekerjaan pasti ada stresnya nggak sih bang?. Aku sering sugesti gitu, biar hidup ngga sambat-sambat amat." Aku merespon sambil nyengir.

Aku dan Bang Tegar menuntaskan kewajiban kami jaga malam dengan cukup baik, tidak ada tanggungan yang belum terselesaikan. Walau semalaman kami terjaga karena beberapa tindakan penanganan pasien kritis yang melanda. Dua pasien yang mengalami penurunan kesadaran dengan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yang tidak normal harus kami pindahkan ke ICU untuk perawatan yang lebih intensif. He is my best partner so far.

Saat berjalan pulang melalui koridor rumah sakit menuju tempat parkir, aku bertemu dengan dr. Timo yang juga akan pulang selepas jaga malam, mata kami sama-sama sembab. Sebuah realita pemadangan wajah manusia-manusia lelah yang sudah umum.

"Ners Gina, pasien An. Xavier pagi ini aman kan?." Tanya dr. Timo kepadaku.

"Aman dok, demamnya udah turun. Tadi sudah saya sarankan ibunya untuk selalu stand by sedia termometer pribadi dan kompres basah." Responku menimpali pertanyaannya.

Kami berpisah saat keluar pintu lobi rumah sakit, mataku sangat ingin mengajak untuk tidur. Botol termos kecil yang aku bawa masih diisi dengan kopi yang tidak sempat aku habiskan. Tetapi cukup membantu membuatku melek untuk menghadapi kesibukan malam tadi.

Beberapa menit setelah aku sampai kos, bersih diri dan bersiap untuk tidur. Ada notifikasi whatsapp menunjukkan pesan dari Mbak Ambar staf bagian manajemen, menyampaikan bahwa pengajuan cutiku disetujui. Rasanya senang sekali, segera aku konfirmasi kepada perawat kepala ruanganku agar bisa mengatur jadwal bulan depan dengan posisiku yang akan cuti. Selanjutnya, aku mengirimkan pesan whatsapp kepada kakakku untuk memberi tahunya bahwa aku bisa ambil cuti.

Semua persiapan liburan sudah terselesaikan, rasanya tidak sabar menunggu minggu depan aku sudah ada di negara lain. Walau terkadang saat hari libur kerja biasa, masih terbawa suasana di tempat kerja, semoga nanti aku bisa menikmatinya.

Waktu yang ditunggu tiba, sesampainya di bandara Changi, kakak menjemputku kemudian kami menaiki MRT menuju daerah tempat tinggalnya. Sebuah sharing apartment berisi 2 mahasiswa, kakak dengan temannya. Katanya nanti aku tidur di kamar kakak dan dia akan tidur di ruang TV.

"Nanti aku tidur di ruang TV, tenang aja. Di situ ada sofa lebar, biasanya ketiduran di situ pas kecapean dari kampus." Ucap kakak mencoba menghapus rasa sungkanku.

Malamnya sebelum tidur, kami sempat mengobrol.

"Kak, apakah aku bakal merasakan dicintai seseorang ya?" Ucapku polos.

"Sejauh ini kamu ngga ngerasa dicintai sama keluarga emang?" Jawab kakak menimpali ucapanku.

"Bukan itu, bukan cinta yang itu ege." Aku merespon dengan ekspresi manyun.

Hidup dua puluh tujuh tahunku memendam rasa takut, penasaran dan keraguan dengan segala fenomena yang telah terlampaui. Ibu yang baru memberanikan diri berterus terang kepada kami tentang segala hal yang telah dia alami selama menikahi papa dan memutuskan untuk berpisah tepat dua tahun yang lalu, ketika aku dan kakak sudah mampu hidup mandiri dengan kehidupan yang cukup stabil di situasi kami masing-masing. Aku sebagai perempuan yang berusaha menerima bahwa seorang papa adalah orang yang tidak bertanggungjawab sebagai suami, namun terlihat berusaha menutupi kekurangan sebagai sosok 'ayah' bagi anak-anaknya.

Sedihnya, ketika aku mencapai umur yang sangat produktif dan seharusnya mencari pasangan hidup, sayatan-sayatan trauma pada hati kecil berkata lain. Kata orang-orang, 'ayah' adalah cinta pertama anak perempuannya, namun mengapa versiku berbeda. Apakah karena aku memanggilnya 'papa'? Hahaha ... bercanda.

Jauh sebelum ibu memutuskan berpisah dengan papa pun, aku sudah mulai memahami seiring bertambahnya usia, bermula dari kepingan ingatan sejak masa kecil bahwa memang menurut analisa dewasaku, papa belum bisa melupakan masa lalunya dan menikah hanya karena tuntutan usia. Kurangnya komunikasi pada saat pertemuan keduanya menjadi penghambat sampai saat ini, perjodohan dan komunikasi buruk yang cenderung terasa satu arah dan minim empati dari sosok kepala rumah tangga, yang membuat ibu berjuang sendiri untuk mencukupi semuanya. Keluarga kami tidak kekurangan, harusnya bisa berlebih mungkin, namun karena yang banyak menanggung kebutuhan hanya ibu, jadi kami bisa terlihat cukup. Rezeki seorang istri sholehah memang sudah ditentukan Allah SWT.

Kakak mungkin sudah lelah melihatku menangisi hal yang sama, disisi lain aku tahu dia juga memiliki luka. Sementara ini kami sama-sama berusaha sembuh dengan cara masing-masing, sibuk dengan proses kehidupan. Tetap berusaha mencari pasangan yang tepat, berharap bertemu di waktu yang tepat, bersama do'a ibu kami yang tidak putus.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Soledad
Anindya Oli
Flash
Glasgow Coma Scale
Indah Azhari
Novel
Gold
Alang
Republika Penerbit
Novel
A.R.I.E.S
Denita Sal Sabila
Skrip Film
Dunia Reva
Hanasteen
Novel
Becoming 24
Febby Arshani
Novel
Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan
Goebahan R
Skrip Film
SEBELUM SENJA BERAKHIR (SCRIPT FILM)
ni ketut yuni suastini
Novel
Gold
KKPK Kompetisi Rahasia
Mizan Publishing
Novel
Gerimis
Kurarin Arin
Komik
archipelaQode
Mr. Q
Flash
Heaven
Mahmud
Novel
Podcast Hati-hati
Joeviano Pinandel
Novel
Rawan
Eko Hartono
Cerpen
Nothing At All
mary dice
Rekomendasi
Flash
Glasgow Coma Scale
Indah Azhari
Cerpen
Pojok Kafe Malam Itu
Indah Azhari