Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Sahabat Pena
4
Suka
1,798
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dahulu, tiap Sabtu Pak Syamaran menyempatkan mampir ke kantor pos ketika berangkat mengajar, mengirim beberapa surat untuk sahabat-sahabat penanya di seluruh tanah air. Sekarang pensiunan guru SD itu hanya mengirim sepucuk surat. Hanya sepucuk surat!

Dalam sebuah surat sepanjang satu setengah halaman folio bergaris, Pak Syamaran mengabarkan tentang Petung, sebuah sungai di kampungnya di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

“Dahulu semasa kecil saya selalu bermain di sungai Petung bersama teman-teman, usai sekolah. Kami berenang di antara bebatuan atau lomba menyelam paling lama, saya selalu kalah. Menahan napas di dalam air, saya hanya bertahan paling lama satu menit. Mereka bilang saya tak pantas jadi tentara. Memang di kemudian hari ketika saya melamar jadi tentara, saya gagal. Tetapi saya bersyukur, gagal jadi tentara kemudian menjadi guru SD, saya bisa mengenal Anda, Pak Zul,” tulis Pak Syamaran dalam bagian suratnya. 

Pak Syamaran membuat surat itu untuk Pak Zulkarnain, seorang petani dari pinggiran kota Yogyakarta yang gemar membaca koran dan cerita silat Kho Ping Hoo, yang gemar mabuk semasa muda dan kemudian menderita diabetes, yang kini hidup berdua dengan sang istri karena anak-anaknya merantau ke berbagai daerah.

Pak Syamaran menyerahkan surat itu pada Aksan Wicaksono, anak tunggalnya.

“Jangan lupa pakai kilat khusus, agar lusa surat ini sampai ke rumah Pak Zul,” pesan Pak Syamaran pada Aksan Wicaksono yang bersiap berangkat mengajar di SD yang kebetulan dekat dengan kantor pos.

“Tapi ini hari Kamis, Pak,” kata Aksan.

“Tak perlu menunggu sampai Sabtu. Sahabat penaku kini tinggal seorang, tak perlu lama-lama untuk membalas suratnya,” sahut Pak Syamaran, tegas.

Aksan Wicaksono menurut, segera membawa surat itu ke kantor pos.

Seminggu, dua minggu, hingga satu bulan kemudian, surat itu belum juga berbalas. Pak Syamaran gelisah menanti dan berkali-kali meminta anaknya ke kantor pos.

“Mungkin saja Pak Pos lupa mengantarnya, atau suratnya terselip. Pokoknya, kamu tanyakan apa ada surat untukku? Surat dari Bapak Zulkarnain untuk Bapak Syamaran,” perintah Pak Syamaran pada anaknya.

Sekali lagi Aksan Wicaksono menurut, lekas ke kantor pos. Jawaban dari kantor pos tetap sama; tak ada surat untuk Pak Syamaran. 

“Bapak hubungi saja Pak Zul dengan WA. Ya, setidaknya dengan telepon atau SMS,” saran Aksan Wicaksono.

“Kami sudah sepakat tidak akan memiliki hape. Kami akan bersetia dengan surat di kertas bukan di hape. Kami ini manusia langka,” sahut Pak Syamaran.

Akhirnya, surat yang dinanti-nanti itupun datanglah. Surat dari Yogyakarta, tetapi mengapa pengirimnya seorang perempuan? 

“Perkenalkan saya Halimah, istri Bapak Zulkarnain. Saya lupa mengabarkan, kalau suami saya sudah meninggal sekira satu bulan silam. Mohon doa dari Bapak, semoga suami saya masuk sorga.”

Bergetar tangan Pak Syamaran, hingga surat itu terlepas dari genggaman, meluncur ke lantai bagai daun gugur. Itu kesedihan yang kesekian baginya setelah kematian istrinya beberapa tahun silam, dan sekarang sahabat pena terakhirnya berpulang pula. 

Meski begitu, tiap malam Pak Syamaran masih menyempatkan menulis surat, lalu menyimpannya di laci meja tulis kesayangannya di ruang tengah. 

Itu hal yang aneh bagi Aksan Wicaksono, tetapi ia tak berani bertanya langsung pada ayahnya. Pada istrinyalah ia bertanya.

“Untuk apa ayah menulis surat tiap malam bila tidak mengirimkannya kepada entah siapa?” tanya Aksan Wicaksono.

“Mungkin itu cara ayah melanjutkan hidup. Biarkan saja bila itu menyenangkan bagi ayah. Apa ayah masih punya sahabat pena?” sahut Wulandari, istrinya.

“Setahuku tidak.”

Beberapa hari kemudian, Aksan Wicaksono bersama istri bersih-bersih rumah. Pak Syamaran masih pergi jalan-jalan di Minggu pagi. Aksan Wicaksono menemukan belasan amplop putih bergaris tepi merah putih di laci meja tulis ayahnya. Tak ada alamat pada semua amplop itu, hanya ada sebaris kalimat: Yth. Tuhanku.

Apa isi semua surat dalam amplop itu? Entahlah, Aksan Wicaksono tak berani membukanya. Selain itu, ayahnya telah pulang dari jalan-jalan.

***SELESAI***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@putriraya : Terima kasih, Kak, sudah berkunjung. Semoga terhibur.
Rekomendasi dari Drama
Flash
Sahabat Pena
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Dialah Kamu
An-nisa Putri Errohman
Novel
Bronze
Kutitipkan Wajahmu Pada Bulan
Khairul Azzam El Maliky
Novel
We School : Sesak
Putri Lailani
Novel
Bronze
Benang Merah
leshdewika
Novel
Bronze
"Tuhan, Aku Capek..."
Diaksa Adhistra
Novel
Bronze
Diary Cinta Naelsa Macaca Lova
Niken Anggraini
Novel
I'am(not)crazy
aira
Novel
Bronze
DOSA YANG SALAH
Alda.
Novel
PERTARUNGAN RINDU
Emur Paembonan S
Novel
Bronze
Sepasang Satria Piningit
Anggrek Handayani
Novel
Bronze
Mengaku Sultan
Herman Sim
Novel
The Sparks
Gie Salindri
Novel
Bronze
Tiga Cinta
silvi budiyanti
Novel
Bronze
My Name is Mawar
Renny Juldid
Rekomendasi
Flash
Sahabat Pena
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Kursi Goyang, Kursi Maut
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Kinjeng Biru (Cinta yang Kandas)
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Semua Hari Baik
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Janji Seorang Badut
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Beruang Lapar
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Siapa yang Mandul?
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Kiat Sukses Wawancara Kerja
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Cinta Pertama
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Semua Rumah Ada Tikus
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Menari Bersama Bidadari
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Mengampuni Maling
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Gagal Jadi Tentara
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Liontin Si Anak Kembar
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Pisau
Sulistiyo Suparno