Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Membunuh Tanpa Senjata
2
Suka
11,534
Dibaca

Deki boleh menjadi apa saja, asal bukan tentara. Kata ayah, “Tentara pegang senjata. Senjata itu membunuh!”

Deki lekas mendebat, “Tapi, Ayah, tidak perlu dengan senjata untuk jadi pembunuh.”

Ayah cepat menyahut, “Benar. Tapi peluang membunuh lebih besar bila pegang senjata!”

Melalui isyarat mata, ibu meminta Deki untuk menghentikan perdebatan. “Makan malam sudah siap,” kata ibu sambil menata meja makan.

Makan malam kali ini dalam suasana kaku. Deki dan ayah menyelesaikan makan tanpa menghabiskannya.

“Dengarkan saja kata Ayah. Kau tak perlu meladeninya,” kata ibu dengan nada rendah, di teras menyusul Deki.

“Bagaimana kalau Ayah tetap memaksa, Ibu?”

“Biar nanti Ibu yang bicara pada Ayah.”

“Apakah semua ayah seperti Ayah?”

“Tidak, Dek. Ayahmu itu trauma. Dulu, pacarnya direbut tentara, sebelum akhirnya Ayah bertemu Ibu.”

“Lalu Ayah benci pada tentara?”

Ibu mengangguk. Deki menghela napas.

“Ini tidak adil,” desis Deki. “Mengapa Ayah menimpakan traumanya pada Deki?”

Deki ingat, Ayah pernah merobek kaos oblong doreng Deki, merampas belati milik teman Deki, juga membakar DVD sekuel Rambo koleksi Deki.

“Tontonlah film seperti Wall Street, agar kamu bisa kaya!” bentak Ayah. Ayah tetap pada pendiriannya; memaksa Deki menjadi pengusaha, mengelola toko bangunan peninggalan kakek.

Deki berpikir, Ayah tidak mampu membedakan urusan pribadi dan impian anak. Ayah itu produk masa lalu, konservatif, tentu saja tidak klop dengan Deki yang progresif. Perlu ada penengah di antara mereka. Ibulah yang akan pegang peran itu.

“Ini perlu waktu, Dek, perlu waktu,” kata ibu.

***

Pukul 13.30 di pojok restoran cepat saji, Deki menggigit beef burger, mengunyah pelan tanpa semangat. Matanya lurus menembus kaca, memandang nanar pada orang-orang dan kendaran berlalu-lalang di luar sana.

Di dekat Deki ada Nina sedang menyedot coke.

“Apa yang kamu pikirkan, Dek?” tanya Nina.

Deki menoleh pada Nina dan bertanya, “Kalau kamu bisa dilahirkan kembali, kamu minta dilahirkan sebagai siapa, Nin?”

“Mm ... sebagai diriku sendiri,” jawab Nina.

“Mengapa kamu nggak ingin lahir sebagai anak jenius atau anak presiden?” sahut Deki.

“Buat apa? Toh itu hanya khayalan, nggak mungkin terwujud. Aku nggak suka berkhayal tentang sesuatu yang nggak mungkin aku wujudkan.”

“Apa saja yang kamu khayalkan, Nin?”

“Banyak. Beberapa sudah terwujud: sekolah di SMA favorit, les piano, dan jadi pacar kamu yang cakep.”

“Kamu bahagia, Nin?”

Nina mengangguk.

“Kupikir kamu juga bahagia, Dek. Otakmu encer, ikut tim inti basket di sekolah, dan jadi cowok idola,” sahut Nina tersenyum.

“Tapi mungkin ada keinginanku yang nggak akan terwujud, Nin.”

“Kamu bertengkar lagi dengan ayahmu?” sahut Nina.

Deki mengangguk.

“Aku pikir kau masih punya waktu setahun lagi sebelum lulus SMA. Aku doakan semoga keadaan menjadi lebih baik. Dan aku akan selalu mendukung setiap langkahmu, Dek, percayalah,” Nina menggenggam tangan Deki.

“Terima kasih, sayang,” ucap Deki mencoba tersenyum.

***

Deki diantar pulang Nina sampai depan rumah. Deki melambaikan tangan sampai mobil Nina menghilang di tikungan. Dari dalam rumah, tampak Mbok Yem tergopoh-gopoh menyambut.

“Celaka, Mas Deki, celaka,” kata Mbok Yem gemetaran. “Ayah Mas Deki ditangkap polisi!”

“Ditangkap bagaimana?”

“Sebaiknya Mas Deki segera ke kantor polisi. Ibu sudah di sana!”

Deki segera mencegat taksi.

Di kantor polisi, Deki melihat ibu duduk gelisah di depan Ruang Pemeriksaan.

“Syukurlah kamu datang, Dek. Ibu bingung dan takut,” kata Ibu.

“Ayah di mana, Ibu?”

“Di dalam, masih diperiksa. Ibu belum boleh menemuinya.”

“Apa yang terjadi, Ibu?”

“Tadi Ayah ke bank, ambil gaji karyawan. Di jalan, Ayah dicegat dua orang begal. Begal-begal itu gagal merampas tas ayah. Ayah mengajar dua begal itu. Malah seorang begal kritis keadaannya. Ayah membentur-benturkan kepala begal itu ke aspal,” Ibu bergidik menceritakan peristiwa yang menimpa ayah. Seorang polisi telah memberitahukan kronologi peristiwa pembegalan itu pada ibu.

“Bagaimana keadaan Ayah?”

“Kata polisi hanya lecet sedikit. Tapi begal itu ... di rumah sakit ... koma.”

Deki dapat membayangkan kondisi begal-begal itu saat bertemu Ayah yang jago taekwondo, yang tak takut senjata apa pun.

“Apa Ayah akan masuk penjara, Dek?”

“Deki nggak tahu, Ibu. Tapi, menurut Deki, Ayah hanya membela diri ....”

“Bagaimana kalau begal itu mati?”

Deki tertegun. Deki teringat ucapannya saat bertengkar dengan Ayah: “Tidak perlu dengan senjata untuk menjadi pembunuh!”

“Bagaimana, Dek? Bagaimana kalau begal itu mati?”

Deki tak mampu menjawab pertanyaan ibu. Deki terdiam, menelan ludah.

***SELESAI***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Komik
Florilegium
Galdev
Skrip Film
INE
Aruna Magda
Flash
Bronze
BELAJAR IKHLAS
Rahmayanti
Flash
Membunuh Tanpa Senjata
Sulistiyo Suparno
Flash
Buah tangan
Mahmud
Novel
Bronze
Lingkaran SMA
junedd juna
Novel
JENDELA KACA
Meria Agustiana
Novel
Dear Oma
Lyra
Novel
Ketika Ibu (Tak Lagi) Dirindukan
Wulansaf
Skrip Film
Aku di Sudut Kota pada 90'
Andhika Fadlil Destiawan
Flash
7 Hari Berlalu
Yuanita Faridatun Ni'mah
Flash
Hujan Setelah Pelangi
Rahmawati
Flash
Janji Kayu Manis
Athar Farha
Cerpen
Bronze
Cermin Yang Terluka
Noveria Retno Widyaningrum
Novel
Gold
KKPK GG Forever
Mizan Publishing
Rekomendasi
Flash
Membunuh Tanpa Senjata
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Malam Jumat
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Hantu Bosan
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Poligami
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Pendongeng Keliling
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Penumpang Gelap
Sulistiyo Suparno
Flash
Gito dan Gitarnya
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Liontin Si Anak Kembar
Sulistiyo Suparno
Flash
Jodoh di Balik Pintu
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Dua Perjaka Tua
Sulistiyo Suparno
Flash
Kursi Goyang Nenek
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Penjiplak Skripsi
Sulistiyo Suparno
Flash
Perjalanan Mengunjungi Sahabat
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Demit Berambut Api
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Bandit Cilik
Sulistiyo Suparno