Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Deki boleh menjadi apa saja, asal bukan tentara. Kata ayah, “Tentara pegang senjata. Senjata itu membunuh!”
Deki lekas mendebat, “Tapi, Ayah, tidak perlu dengan senjata untuk jadi pembunuh.”
Ayah cepat menyahut, “Benar. Tapi peluang membunuh lebih besar bila pegang senjata!”
Melalui isyarat mata, ibu meminta Deki untuk menghentikan perdebatan. “Makan malam sudah siap,” kata ibu sambil menata meja makan.
Makan malam kali ini dalam suasana kaku. Deki dan ayah menyelesaikan makan tanpa menghabiskannya.
“Dengarkan saja kata Ayah. Kau tak perlu meladeninya,” kata ibu dengan nada rendah, di teras menyusul Deki.
“Bagaimana kalau Ayah tetap memaksa, Ibu?”
“Biar nanti Ibu yang bicara pada Ayah.”
“Apakah semua ayah seperti Ayah?”
“Tidak, Dek. Ayahmu itu trauma. Dulu, pacarnya direbut tentara, sebelum akhirnya Ayah bertemu Ibu.”
“Lalu Ayah benci pada tentara?”
Ibu mengangguk. Deki menghela napas.
“Ini tidak adil,” desis Deki. “Mengapa Ayah menimpakan traumanya pada Deki?”
Deki ingat, Ayah pernah merobek kaos oblong doreng Deki, merampas belati milik teman Deki, juga membakar DVD sekuel Rambo koleksi Deki.
“Tontonlah film seperti Wall Street, agar kamu bisa kaya!” bentak Ayah. Ayah tetap pada pendiriannya; memaksa Deki menjadi pengusaha, mengelola toko bangunan peninggalan kakek.
Deki berpikir, Ayah tidak mampu membedakan urusan pribadi dan impian anak. Ayah itu produk masa lalu, konservatif, tentu saja tidak klop dengan Deki yang progresif. Perlu ada penengah di antara mereka. Ibulah yang akan pegang peran itu.
“Ini perlu waktu, Dek, perlu waktu,” kata ibu.
***
Pukul 13.30 di pojok restoran cepat saji, Deki menggigit beef burger, mengunyah pelan tanpa semangat. Matanya lurus menembus kaca, memandang nanar pada orang-orang dan kendaran berlalu-lalang di luar sana.
Di dekat Deki ada Nina sedang menyedot coke.
“Apa yang kamu pikirkan, Dek?” tanya Nina.
Deki menoleh pada Nina dan bertanya, “Kalau kamu bisa dilahirkan kembali, kamu minta dilahirkan sebagai siapa, Nin?”
“Mm ... sebagai diriku sendiri,” jawab Nina.
“Mengapa kamu nggak ingin lahir sebagai anak jenius atau anak presiden?” sahut Deki.
“Buat apa? Toh itu hanya khayalan, nggak mungkin terwujud. Aku nggak suka berkhayal tentang sesuatu yang nggak mungkin aku wujudkan.”
“Apa saja yang kamu khayalkan, Nin?”
“Banyak. Beberapa sudah terwujud: sekolah di SMA favorit, les piano, dan jadi pacar kamu yang cakep.”
“Kamu bahagia, Nin?”
Nina mengangguk.
“Kupikir kamu juga bahagia, Dek. Otakmu encer, ikut tim inti basket di sekolah, dan jadi cowok idola,” sahut Nina tersenyum.
“Tapi mungkin ada keinginanku yang nggak akan terwujud, Nin.”
“Kamu bertengkar lagi dengan ayahmu?” sahut Nina.
Deki mengangguk.
“Aku pikir kau masih punya waktu setahun lagi sebelum lulus SMA. Aku doakan semoga keadaan menjadi lebih baik. Dan aku akan selalu mendukung setiap langkahmu, Dek, percayalah,” Nina menggenggam tangan Deki.
“Terima kasih, sayang,” ucap Deki mencoba tersenyum.
***
Deki diantar pulang Nina sampai depan rumah. Deki melambaikan tangan sampai mobil Nina menghilang di tikungan. Dari dalam rumah, tampak Mbok Yem tergopoh-gopoh menyambut.
“Celaka, Mas Deki, celaka,” kata Mbok Yem gemetaran. “Ayah Mas Deki ditangkap polisi!”
“Ditangkap bagaimana?”
“Sebaiknya Mas Deki segera ke kantor polisi. Ibu sudah di sana!”
Deki segera mencegat taksi.
Di kantor polisi, Deki melihat ibu duduk gelisah di depan Ruang Pemeriksaan.
“Syukurlah kamu datang, Dek. Ibu bingung dan takut,” kata Ibu.
“Ayah di mana, Ibu?”
“Di dalam, masih diperiksa. Ibu belum boleh menemuinya.”
“Apa yang terjadi, Ibu?”
“Tadi Ayah ke bank, ambil gaji karyawan. Di jalan, Ayah dicegat dua orang begal. Begal-begal itu gagal merampas tas ayah. Ayah mengajar dua begal itu. Malah seorang begal kritis keadaannya. Ayah membentur-benturkan kepala begal itu ke aspal,” Ibu bergidik menceritakan peristiwa yang menimpa ayah. Seorang polisi telah memberitahukan kronologi peristiwa pembegalan itu pada ibu.
“Bagaimana keadaan Ayah?”
“Kata polisi hanya lecet sedikit. Tapi begal itu ... di rumah sakit ... koma.”
Deki dapat membayangkan kondisi begal-begal itu saat bertemu Ayah yang jago taekwondo, yang tak takut senjata apa pun.
“Apa Ayah akan masuk penjara, Dek?”
“Deki nggak tahu, Ibu. Tapi, menurut Deki, Ayah hanya membela diri ....”
“Bagaimana kalau begal itu mati?”
Deki tertegun. Deki teringat ucapannya saat bertengkar dengan Ayah: “Tidak perlu dengan senjata untuk menjadi pembunuh!”
“Bagaimana, Dek? Bagaimana kalau begal itu mati?”
Deki tak mampu menjawab pertanyaan ibu. Deki terdiam, menelan ludah.
***SELESAI***