Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dengan kaki telanjang, Xhu terus menggerakkan kakinya. Melangkah maju, melawan salju yang menggenggam erat langkahnya. Terasa semakin kuat, semakin berat, tetapi Xhu terus melawannya walau tertatih. Dibantu dengan seonggok kayu, Xhu tetap bergerak maju. Walau sampai akhirnya ia terperosok ke dalam sebuah lubang yang tertutup salju. Xhu tenggelam ditelan lembah Gunung Imeon.
Sesaat setelah ia tenggelam, badai salju bergerombol datang seakan sengaja ingin menerkam. Pipi Xhu yang mulai membiru, menarik ujung bibirnya merasa menang. Xhu mengistirahatkan tubuhnya sejenak, sembari menunggu amukan badai yang masih mengaum. Xhu pun tertidur di dalam lubang yang merupakan sebuah gua.
****
Badai belum usai, tetapi sosok misterius dengan santai berjalan menerjang badai yang tengah mengamuk, dengan kedua tangan menggenggam sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Sosok misterius itu tampak seperti manusia, setengah telanjang, tetapi bagian pergelangan kaki sampai telapak kakinya terbalik. Tak seperti manusia normal pada umumnya. Ia mengarah ke gua di mana Xhu terjatuh, lalu dengan sengaja menjatuhkan kotak kayu yang dibawanya ke dalamnya. Kemudian ia pergi.
****
Suara tangis menggema sumbing, membuat Xhu terbangun. Ia menaikkan kedua alisnya, lalu mengerutkan dahinya berharap membuat pandangan mata tuanya lebih jelas, walau percuma karena dalam gua sangatlah gelap. Ia merasa melihat samar sebuah kotak kayu, dengan bunyi tangis bayi yang tak mau kalah dengan suara badai salju yang sampai saat ini belum juga berhenti. Ia sempat ragu dengan apa yang direkam telinga tuanya. Ia memastikannya dengan menyeret tubuhnya perlahan, kemudian meraihnya dengan tangannya.
Gua itu tak berukuran besar. Gua itu seukuran dengan tinggi manusia yang sedang dalam posisi jongkok, duduk, atau merayap. Xhu memegang dan mengetuk-ngetuk kotak kayu itu. Ketukan tangannya membuat tangisan bayi makin nyaring. Tangisan itu membuat sisi wanita Xhu yang telah lama tertidur karena menghabiskan hidupnya sebagai biksu bangkit. Bibirnya yang tipis dan pecah-pecah merapalkan sesuatu. Telapak tangannya mengepal, lalu menegakkan telunjuk, muncul api di telunjuknya.
“Oh, sebuah kotak kayu. Bayi laki-laki? Baiklah aku akan pastikan,” ia mengubah posisi tubuhnya yang semula merayap menjadi jongkok, kemudian telunjuknya yang terdapat api menyentuh permukaan kotak kayu, lalu kotak kayu hangus menjadi abu.
“Oh, bayi Abarimon!” suaranya terdengar bahagia seperti menemukan sebuah harta karun.
Ia menjentikkan jari telunjuknya yang terdapat api ke arah depan, memastikan apakah terdapat sebuah jalan atau buntu. Api itu terbang membentuk sebuah bola kecil, terbang melayang perlahan ke depan. Lalu ia menenangkan bayi, menggendongnya dengan satu tangan, ia berjalan jongkok mengikuti api kecilnya yang terbang perlahan. Bayi itu tak lagi menangis, ia meraung-meraung ingin menangkap api yang dilepar Xhu tadi. Ia terus menyeret-nyeret kakinya, setapak demi setapak mengikuti bola api yang ia lemparkan tadi. Ditemani raungan bayi yang tak kunjung henti ingin menangkap api.