Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lebar-lebar dibukanya tirai apartemennya. Lalu duduk di kursi, memandang ke luar dinding kaca. Pemandangan Jakarta tahun di tiga bulan terakhir 2023 itu menggetarkan hati. Di kejauhan, tampak Lidah Api dari tugu Monas yang menyala keemasan.
Kirana tak tahu, di zaman mana dia hidup.
Begitu banyak lapisan masyarakat yang saling tumpang tindih, menggodok darah mereka hingga mendidih, dan batin mereka merintih perih. Masihkah dia hidup di masa lalu, meratapi mentari yang tenggelam dan berada dalam bayang-bayang penjajahan? Cukup keraskah dia berjuang, hingga bekerja mati-matian, hanya untuk mengatakan ‘aku akan mencobanya lagi esok hari’? Atau sudahkah dia membuat tonggak pencapaian, hingga akhirnya mengatakan ‘aku akan memenangkan pertarungan ini setiap hari’?
Dadanya tersedak, matanya retak. Apa yang dia saksikan di sini, tak seberapa dari yang terjadi hari ini di bumi Baitul Maqdis. Dada yang tersedak itu, mata yang retak itu, tak hanya oleh lenyapnya asa dan cita akan masa depan, tapi juga oleh darah yang meledak, yang hancur berkeping-keping dan lumat menjadi debu bersama gedung-gedung yang mereka bangun dengan tetesan keringat selama berpuluh-puluh tahun. Darah merah yang suci itu seperti anggur merah yang ditampar sia-sia oleh pemabuk yang lupa diri. Yang berpikir, dia bisa mendapatkannya lagi.
Kirana menatap lampu-lampu kota di luar kaca.
Mulutnya terbungkam tanpa sepatah kata. Sebelah tangannya meremas selembar kertas, hingga uratnya mengencang seperti tali yang ketas. Dia tak kuasa membaca puisi yang direkanya sejak lama. Sebuah teriakan luka yang menoreh dada. Luka itu tak hanya merah warnanya, tapi juga hitam, putih dan hijau, yang artinya perjuangan penuh keberanian dan pengorbanan darah ini akan melalui kematian, kesucian dan menemukan kelahirannya kembali. Itu adalah keyakinan setiap insan yang nafasnya diserahkan untuk Palestina.
Lalu, apa yang dapat kuberikan padamu, oh, Palestina? Pikirnya, resah.
Imannya terguncang. Dadanya bergetar. Airmatanya luruh.
Fajar…, panggil Kirana dalam hati. Suara Fajar kembali terngiang, perlahan mengeras, hingga berdentang bak lonceng yang memanggil kesadarannya. “Aku tidak akan tinggal diam, aku tidak mau dibungkam! Mereka melakukan itu di masa silam, membuat sejarah kelam, dan sekarang membantai Islam! Tidakkah itu membuat alarm bagi manusia di seluruh alam? Aku akan menjadi prajurit yang maju di garda depan, melawan seperti pahlawan! Oleh karena itu, Kirana, tolong, lepaskanlah aku dengan do’a!”
“Tapi, Fajar… Aku tak tahu apakah kamu akan kembali!” kata Kirana memelas.
“Mungkin aku tidak akan kembali. Mungkin, kita tidak...”
“Stop! Hentikan…,” kata Kirana sambil menahankan tangannya, tidak mau mendengarkan kata-kata yang diucapkan Fajar lebih jauh lagi. Dia sudah tahu, dan dia tidak mau mendengarnya.
“Aku belum selesai, Kir… Aku bahkan belum memulai… Kamu memintaku untuk kembali, padahal aku belum memenangkan pertarungan itu…”
“Fajar… Kita sudah berjanji...”
“Kita sudah berjanji untuk sehidup semati. Itulah sebabnya, mungkin juga, kita tidak benar-benar berpisah, sebab, kita akan selalu berjuang bersama. Aku dengan senjataku, dan kamu dengan senjatamu.”
“Apa yang kamu coba katakan?” kata Kirana, lemah. “Kamu pikir, aku bisa berjuang tanpa kamu? Aku tak akan mengenali pantulanku sendiri. Tak akan sempurna jiwaku, jika aku harus kehilanganmu!”
“Goreskanlah penamu, itu adalah senjatamu! Aku tetap akan pergi, dengan atau tanpa restumu. Agar kau tahu, bahwa aku berada di sana, juga untuk kemenangan jiwamu.”
“Fajar... Aku akan merestuimu kalau kamu berjanji satu hal padaku!”
“Katakan, aku akan lakukan.”
“Singsinglah cahaya pagi di bumi Palestine. Angkatlah senjata lain yang lebih ampuh, yaitu ilmu langit Al-Qur'an! Galilah juga alkitab mereka, lalu tunjukkan pada mereka ayat yang harus mereka praktekkan sendiri. Kamu harus bisa menghakimi mereka dengan kitab-kitab suci mereka sendiri!” kata Kirana sambil jatuh menaruh pipinya di tangan Fajar.
Ya Allah, Fajar… Sudah tiga tahun kau di sana… Apa kabarmu hari ini?
Samar-samar, terdengar suara di TV. “Serangan udara menghantam Rumah Sakit Al-Ahli di Jalur Gaza Palestina pada Selasa (17/10), lebih dari 500 orang meninggal dunia. Seorang warga negara Indonesia bernama Fajar Effendi yang tergabung dengan Nusantara Palestine Center (NPC) ditemukan selamat sedang memegang Kitab Al-Qur’an. Tiga orang yang selamat lainnya mengatakan bahwa Fajar telah menyelamatkan mereka dengan mengajak mereka pergi ke Mushola untuk menunjukkan ayat-ayat suci tentang perdamaian dari kitab-kitab yang mereka yakini sendiri. Ketiga orang itu beragama Yahudi, Kristen dan Hindu.”