Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rahma menutup laptop, membaca selembar surat yang telah ia print. Di sampingnya, duduk Haris yang ikut pula membaca surat yang akan mengubah nasib mereka itu.
“Masih ada waktu bagi kau untuk berpikir ulang,” kata Haris.
Rahma mengambil pulpen.
“Semakin lama aku memikirkannya, semakin berlarut masalah ini. Tak akan selesai,” sahut Rahma, membubuhkan tanda tangan , lalu memasukkan surat itu ke amplop putih.
Rahma berdiri, mencium tangan Haris.
“Saya berangkat dulu, Mas.”
“Hati-hati, ya?”
Ketika hendak keluar kamar, Rahma melirik ke tempat tidur. Tampak seorang anak perempuan masih tertidur pulas. Rahma tersenyum, menghampiri anak berusia 3 tahun itu, mencium keningnya. Anak itu menggeliat sesaat.
“Titip Pipit ya, Mas?”
“Pasti. Akan kujaga selalu anak kita,” sahut Haris.
Pukul 07.00 Rahma keluar rumah. Wanita berkulit sawo matang itu selalu berjalan kaki menuju tempatnya mengajar, hanya sepuluh menit. Biasanya, langkahnya begitu ringan. Tetapi, pagi ini langkahnya terasa begitu berat.
Beberapa ibu tetangga menyapanya.
“Assalamu’alaikum, Bu Guru.”
“Wa’alaikumsalam,” sahut Rahma.
Ah, sudah berapa lama Rahma mendengar sapaan itu setiap hari? Sudah belasan tahun, sejak ia masih lajang. Sapaan yang ia impikan sejak kecil. Ketika ia lulus SMA, ia ingin sekali melanjutkan kuliah, namun tak ada biaya. Ketika ada tawaran untuk menjadi guru TK, ia pun menerimanya. Tak terasa sudah lima belas tahun ia menjadi guru TK.
Dan, hari ini Rahma akan membuat keputusan yang akan mengubah jalan hidupnya. Rahma sudah memikirkan matang-matang keputusannya. Seharian kemarin ia memikirkannya sampai izin tidak masuk kerja dengan alasan tidak enak badan. Ia tidak berbohong, pikirannya yang dilanda kebimbangan membuat tubuhnya kurang bugar.
Rahma melangkah dengan menundukkan kepala. Ia memperhatikan langkah-langkah kakinya seperti melihat jejak kehidupannya yang telah berlalu. Beberapa kenangan berkelebat dalam pikirannya. Kenangan bersama Haris, lelaki pengarang yang sangat mencintainya.
Haris. Lelaki itu begitu berarti dalam hidup Rahma. Bersama Haris, Rahma telah mendapat anugerah dua buah hati. Si sulung bernama Agung, sudah kelas 3 SD. Si bungsu bernama Pipit, masih 3 tahun dan tahun depan akan masuk Play Group.
Masa awal pernikahan dengan Haris adalah masa-masa berat bagi Rahma. Haris bukanlah pengarang besar, penghasilannya dari menulis tak menentu. Kadang dalam sebulan tak ada cerpen dan puisi Haris yang dimuat. Tak ada honor, tak ada pemasukan untuk menghidupi keluarga. Terpaksa Haris pinjam uang ke teman-temannya, pernah pula menjadi tukang ojek, salesman roti, dan pekerjaan lainnya.
Praktis, Haris tak sempat lagi menulis. Rahma kerap menemukan Haris murung. Rahma tahu, tak sempat menulis itu sangat menyiksa bagi seorang pengarang.
“Menulislah, Mas. Jangan pikirkan yang lain,” kata Rahma, suatu hari, menyadari kebutuhan seorang pengarang adalah menulis, menulis, dan menulis.
“Tapi ....”
“Rezeki sudah ada yang mengatur, Mas. Kalau Mas bisa konsenterasi menulis, tulisan Mas akan bagus, akan sering dimuat.”
Haris tersenyum. Matanya bercahaya dan ia pun menulis tiap hari. Berpuluh-puluh cerpen, ratusan puisi ia tulis. Haris benar-benar tak memikirkan hal lain. Ia terus menulis, meski harus dengan duduk memangku Agung yang masih balita.
Kerja keras Haris membuahkan hasil. Tulisan Haris tersebar ke banyak media. Wesel dan transfer berdatangan. Haris pun berani menginginkan anak lagi dan kemudian lahirlah Pipit dari rahim Rahma.
Haris terus produktif dan tak pernah mengeluh, meski harus menulis sambil mengasuh anak. Sering saat Rahma pulang dari mengajar, ia melihat Haris sedang mengetik sambil memangku Pipit, sementara di dekatnya Agung bermain mobil-mobilan. Rahma terenyuh melihatnya dan sering merasa tak enak hati pada Haris.
Pun, ketika kesibukan Haris bertambah, lelaki itu tak pernah mengeluh. Haris telah menerbitkan beberapa novel dan sekarang mendapat pesanan dua novel yang harus selesai dalam enam bulan ke depan. Haris juga mendapat tawaran untuk membuat skenario sinetron lepas.
“Bagaimana menurutmu, kalau kita mencari baby sitter?” tanya Haris, suatu hari, ketika ia memutuskan menerima tawaran menulis skenario.
Rahma tahu, menulis skenario itu butuh imajinasi tinggi, butuh konsentrasi tinggi pula. Tapi, mencari baby sitter bukanlah pilihan terbaik. Mengasuh dan mendidik anak adalah tugas orangtua.
“Biar aku yang mengasuh anak-anak, Mas,” kata Rahma.
“Tapi ....”
“Aku akan keluar dari pekerjaanku, Mas.”
“Kamu yakin?”
Rahma diam.
“Kupikir mencari baby sitter adalah pilihan terbaik,” kata Haris, mengingatkan.
Berhari-hari Rahma memikirkan pilihan terbaik. Kemarin, Rahma izin tidak masuk kerja, karena kebimbangan menyergap hatinya. Bila ia masuk kerja, mungkin ia akan melakukan berbagai kesalahan saat mengajar, karena konsentrasinya terpecah.
***
Rahma memasuki halaman TK Tunas Bangsa. Beberapa rekan guru menyapa dan tersenyum padanya. Ada yang aneh dalam senyum mereka. Alis Rahma bertautan, ada apa gerangan dengan senyum mereka?
Indah, guru termuda di TK itu, bergegas menghampiri dan menjabat tangan Rahma.
“Selamat ya, Mbak Rahma,” ucap Indah tersenyum.
“Selamat apa?”
“Ups,” Indah menutup mulutnya dengan tangan. “Hampir saja kelepasan bicara,” gumam Indah.
“Selamat apa, Indah?” desak Rahma.
“Nggak kok, Mbak. Nanti Mbak Rahma juga akan tahu sendiri. Kemarin kami rapat. Kami hendak memberitahukan hasil rapat pada Mbak, tapi kata Bu Halimah nggak usah. Nanti Bu Halimah sendiri yang akan memberitahu Mbak Rahma.”
“Memberitahu apa, Indah?”
Indah tersenyum misterius.
“Ada aja,” Indah terkekeh.
Rahma segera menuju ruang Kepala Sekolah.
“Bagaimana kabar Anda, Bu Rahma? Sehat?” sapa Bu Halimah, duduk di kursinya.
“Alhamdulillah, Bu. Sehat,” sahut Rahma. Ia menaruh tas di pangkuannya. Tangan kanannya merogoh ke dalam tas, siap mengeluarkan surat pengunduran diri.
Bu Halimah tersenyum menatap Rahma.
“Begini, Bu Rahma. Kemarin kami rapat. Rapat mendadak, karena saya tidak memberitahukan sebelumnya,” Bu Halimah berhenti sejenak.
“Rapat tentang apa, Bu?” tanya Rahma.
“Begini, Bu Rahma. Saya sudah dua puluh tahun menjadi Kepala Sekolah di sini. Harus ada regenerasi. Saya sudah menyampaikan pada pihak yayasan dan mereka menerima usul saya. Begini, Bu Rahma. Saya hendak mengundurkan diri sebagai Kepala Sekolah. Saya ingin jadi guru biasa saja. Saya sudah tua, sudah tidak punya ide-ide segar lagi untuk memajukan sekolah kita tercinta ini. TK ini memerlukan pemimpin muda yang bisa mengikuti perkembangan zaman. Mm, begini, Bu Rahma. Saya mempromosikan Bu Rahma untuk menjadi Kepala Sekolah yang baru.”
Mata Rahma membelalak.
“Saya, Bu?”
“Ya.”
“Tapi saya hanya lulusan SMA, Bu.”
“Jangan kawatir. Pihak yayasan akan membiayai Bu Rahma untuk melanjutkan ke S1.”
“Tapi, Bu ....”
“Terima atau tidak, Bu Rahma?”
Rahma mencabut tangannya dari dalam tas. Surat pengunduran diri itu tak pernah sampai kepada siapapun.
***SELESAI***