Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suatu pagi di tepi desa, terlihat sebuah gubuk kecil kokoh menyongsong siang. Tampak seorang anak kecil sedang membawa setengah piring nasi keluar dari rumahnya.
"Kok aku ditinggal?" nasi itu bertanya pada punggung anak yang baru saja berlalu meletakkannya di bawah pohon cabai.
Seketika suasana menjadi hening. Tak lama kemudian angin datang menderu membawa debu naik--menempelkannya pada tubuh si nasi itu.
"Aku sengaja disemai, dipupuk, dirawat, dijaga dari wereng, walang sangit dan tikus nakal, aku diairi, didoakan orang-orang juga merayakan ku ketika aku ranum. Aku pikir ini bukan akhir cerita yang baik seperti lantunan doa-doa yang sering kudengar ketika mereka melafazkan cinta pada semesta atas rasa syukurnya memanenku," ucap nasi.
"Sekarang punggung yang melentarkanku di tempat ini hilang ditelan daun pintu itu, aku pikir aku lebih berguna setelah melalui proses panjang," tambah si nasi sedih.
Seketika nasi itu mengeluarkan air mata. Tubuhnya tidak lagi seputih ketika keluar dari wajan. Itu terjadi karena jari pemilik punggung tadi sempat menggadonya dengan gulai kepala ikan.
"Apakah aku masih berguna walau tidak dengan si punggung kecil itu?" Ucapnya sekali lagi dengan nada gemetar.
Saat nasi menangis, tubuhnya berubah menguning. Aromanya juga sudah tidak wangi seperti pertama kali si punggung kecil memasukkannya ke dalam piring.
Si nasi menangis tersedu-sedu, si punggung kecil membuatnya menunggu hingga ia kedinginan.
Dalam samar, ia mendengar suara seorang perempuan dari dalam gubuk berujar kepada si punggung kecil.
"Abang tidak menghabiskan nasi lagi?" Ucap perempuan itu. Namun tak terdengar jawaban dari si punggung kecil.
"Abang tidak boleh menyisakan nasi, Nak!" ucap perempuan itu.
Si nasi dibantu angin menggerakkan tubuhnya menoleh ke arah gubuk, tubuhnya yang dingin membuatnya semakin menggigil. Ia tak berdaya untuk mengatakan jika aroma tubuhnya semakin menyiksa.
"Nasinya terlalu banyak, Bu!"
"Bukankah Abang yang tadi yang mengambilnya sendiri?"
Lalu suara si pemilik punggung kecil kembali tak terdengar.
"Kamu tahu? Nasi bisa saja menangis saat kita tidak menghabiskan atau membuangnya."
"Benarkah, Bu? Apakah dia menangis seperti manusia?"
"Tentu saja," jawab perempuan itu.
"Dia bisa merasa sakit hati, Bu?" tanya si punggung kecil lagi.
Perempuan itu mengangguk. "Saat menangis, dia tidak bisa lagi dimakan."
Si punggung kecil tidak percaya dengan perkataan ibunya.
Suasana kembali hening, tidak lama kemudian daun pintu gubuk itu kembali terbuka. Tak tampak lagi punggung kecil itu, kali ini wajah polos dengan tangan mungilnya menghampiri nasi di bawah pohon cabai yang tampak mulai berair.
Setelah seluruh nasi berhasil di pilih dan berada di telapak tangannya, ia melirik ke kanan dan kiri. Si pemilik punggung kecil itu melihat kolam ikan tepat di bawah pohon pengatin di bibir sawah tak jauh dari rumahnya.
"Maafkan aku nasi sudah membuatmu menangis," ucap si pinggung kecil sambil meniup-niup si nasi membebaskannya dari debu.
Lalu nasi itu diberikannya kepada ikan-ikan di kolam itu. Tak lama kemudian perempuan yang tadi menasehatinya menghampirinya.
"Kita tidak boleh mubajir, Bang. Sedikit apa pun itu belum tentu orang lain bisa menikmatinya. Kita harus selalu bersyukur ya, Nak," ucap perempuan itu sambil mengusap punggung kecil itu.
****
Dongeng ini ditulis estafet dan dikembangkan dari semesta novel Bertandang ke Ujung Siang-- Bab 4 Bayangan di Ujung Malam.
@ariyanto: terima kasih, mas.
@raisa: waalaikumsalam, boleh banget ya dek. Maaf kakak jarang buka IG. Selamat belajar dan sukses terus, aamiin.