Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Makasih kamu beberapa minggu ini sudah temenin aku nunggu jemputan Mama," Tiara melirik ke Sugeng, teman sekolah yang duduk di sampingnya di bangku samping gerbang. Sugeng tersenyum.
"Sans aja. Aku suka kok," kata Sugeng masih menarik dua sudut bibirnya ke atas. Tiara tersipu. Beberapa minggu lalu gadis itu tak terlalu peduli dengan Sugeng. Tetapi sekarang dia mulai merasakan sesuatu menyelinap di dalam hatinya. Seperti nyaman yang menyenangkan.
"Ini ... biar nggak kena maag," sodor Tiara ke Sugeng. Tangan halus gadis itu menyodorkan sepotong kue marmer berbungkus plastik.
"Bikinan Mama. Enak pakai banget," imbuh Tiara. Mata Sugeng berbinar, lalu cepat meraih kue itu. Sebelum mendorong ke mulut, Sugeng menyempatkan indera penciumannya membaui kue itu. Hmmm ... seharum bayangannya. Lalu cowok itu mendorong kue itu ke mulutnya, mengunyahnya perlahan. Tiara tersenyum melihat kelakuan Sugeng. Cowok itu mendadak lucu di mata cewek itu.
"Nggak ada yang marah?"
Sugeng menoleh ke Tiara. Marah? Sugeng belum paham. "Maksudku, kalau kamu nemenin aku setiap hari begini sepulang sekolah, apa nggak ada yang marah?" Tiara menjelaskan.
Sugeng menggeleng cepat. Tiara lega. Pfiiuuuh ... gadis itu menghembuskan napas kecil sambil menahan senyum. Sugeng tak memperhatikan itu karena sibuk dengan kunyahan kuenya. Beberapa kali matanya merem melek, hingga akhirnya kue itu tertelan semua.
"Habis?"
Sugeng mengangguk.
"Nanti kuceritakan ke Mama, kalau kamu menyukai kue buatannya. Mama paling suka kalau kue buatannya dipuji," kata Tiara dengan mata berbinar.
Pukul 14.59 WIB. Sugeng melirik ke jam tangan seperti tak sabar menunggu sesuatu dalam satu menit ke depan. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Kegugupan merambat menyergap seluruh tubuhnya. Beberapa kali Sugeng menghela napas dalam-dalam sambil melirik ke jam tangan di pergelangan tangan kirinya.
"Kamu baik-baik saja?" Tiara merasakan sesuatu tak beres. Sugeng mengangguk cepat.
"Sakit perut habis makan kue Mamaku?"
Sugeng menggeleng.
Tiara memandangi cowok itu. Ingin rasanya mengelap keringat yang mendadak tampak mengembun di jidat cowok itu. Tangan Tiara merogoh sesuatu di dalam tas sekolahnya, lalu mengeluarkan selembar tisu.
"Ini, dilap tuh keringatnya ... panas ya?" Tiara masih keheranan. Gadis itu heran, setiap menjelang pukul 15.00 WIB, Sugeng seperti orang aneh. Gestur tubuhnya canggung dan dia seperti gugup. Tapi cowok itu tak pernah mengeluh atau cerita apapun.
Hari ini memasuki pekan kedua Sugeng menemaninya menunggu jemputan Mama. Tiara merasa senang ada teman menunggu Mamanya. Sekolah bubar pukul 14.00 WIB, biasanya selepas itu Tiara masih kumpul bersama gengnya menunggu jemputan, baru sekitar pukul 14.30 WIB tinggal dia sendirian. Mama baru bisa jemput pukul 15.00 WIB karena harus menyelesaikan pekerjaan. Lalu dua minggu lalu, out of the blue, hadirlah Sugeng, teman sekelas yang tak pernah dekat dengannya mendadak menjadi akrab.
Tiara senyum-senyum dan beberapa kali melirik ke Sugeng. Gadis itu mulai nyaman.
Pukul 15.00 WIB. Seperti biasa muncul Vespa kuning dan berhenti di depan Tiara dan Sugeng. Meskipun cuma menjemput, wanita yang mengendarai Vespa kuning itu selalu melepas helm kuningnya, menyibakkan anak rambut yang mengganggu matanya, lalu menyapa renyah, "Halo anak Mama ... halo Sugeng."
Momen itu selalu membuat tubuh Sugeng mendadak membeku, namun hatinya menghangat. Matanya tak berkedip menatap wajah wanita itu. Bibirnya pun tak mampu membalas sapaan wanita itu.
Dalam hati, Sugeng berucap, "Aku suka kamu," kepada wanita yang mengendarai Vespa kuning itu: Mamanya Tiara.