Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tahu menjadi dewasa itu tidak menyenangkan. Bahkan jauh sebelum aku mengerti makna dari kata dewasa itu sendiri.
Aku tidak menyalahkan pernikahan orang tuaku yang tidak dilandasi atas kemauan satu sama lain. Atau cara mereka membesarkanku–membesarkan kami–selama puluhan tahun belakangan ini. Atau bagaimana mereka memperlakukan satu sama lain. Bagaimana mereka mencoba bertahan saat tidak ada lagi yang bisa mereka pertahankan. Seperti, kau ada di sana tapi kau tidak pernah benar-benar ada di sana.
Lukanya nyata. Begitu juga dengan traumanya. Sekalipun aku tahu mereka tidak bermaksud begitu, itu tertoreh dan menganga di dalam sana. Aku ingin itu menghilang dari diriku. Dendam dan amarah dan… hampa. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana caranya. Mungkin aku tahu, tapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Aku terlalu takut untuk melakukannya. Mencari bantuan. Jadi, aku simpan semuanya rapat-rapat, menyerahkan sepenuhnya pada waktu dengan harapan bisa sembuh dengan sendirinya. Yang mana itu mustahil.
Kau tahu apa yang mustahil? Melihat diriku menginjak usia tiga puluh.
Rasanya begitu kabur dan menyakitkan. Membayangkan segala kemungkinan, kesempatan, dan peluang yang ada selama… enam tahun ke depan saja sudah membuat kepalaku berdenyut dengan keras. Terlalu banyak untuk aku proses ketika waktu tidak relevan lagi. Bukti bahwa waktu sendiri sudah muak dengan tujuan dan keberadaannya sendiri.
Lalu ada siklus. Aku sudah bisa merasakan kehadirannya bahkan jauh sebelum usiaku berubah menjadi dua puluh empat. Jika kakak perempuanku bisa memutusnya, maka aku akan melakukan hal yang sama. Aku tidak akan membangun sebuah keluarga. Aku tidak akan mengulang hal yang sama–yang terjadi pada ibu dan nenekku dan nenek buyutku. Aku tidak akan menorehkan luka yang sama pada darah dagingku sendiri. Biar siklusnya berhenti di sini, di dalam diriku.
Jadi, apa yang harus aku lakukan? Menata kembali hidupku yang berantakan? Merawat diri agar memenuhi standar kecantikan yang kedengarannya tidak masuk akal? Mengejar kembali mimpi-mimpi yang sudah lama terbengkalai?
Ponsel yang kutaruh di meja lampu bergetar dan layarnya menyala. Begitu juga dengan jam yang melingkar di pergelangan tanganku. 02:45.
Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu tidur. Di bawah cahaya temaram, aku mengambil kotak permen mint dari laci meja lampu. Lebih dari cukup untuk membuat obat tidur di dalamnya berkelenting. Aku tahu aku akan menyesalinya. Aku akan menghabiskan sisa hari ini berada di garis tipis antara ilusi dan realita. Tapi aku juga tidak ingin melalui satu lagi malam yang panjang tanpa tidur.
***
Cover:
pexels.com/cottonbrostudio