Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Jalan Pintas
4
Suka
1,909
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Cici berbaring di springbed pink bergambar Barbie. Gadis 17 tahun itu mengela napas bahagia. Ia telah melalui perjuangan yang melelahkan. Sekarang hasilnya sungguh gemilang. Sepuluh cerpen dimuat dalam tiga bulan!

Keesokan hari, Cici membawa majalah itu ke sekolah. Teman-teman berebut ingin membaca cerpen terbaru Cici. Majalah itu sampai lecek.

“Cici, kamu dipanggil Bu Hanifah,” kata seorang teman yang baru masuk ruang kelas.

Cici melangkah ke ruang guru. Bu Hanifah sudah menunggunya. Guru Bahasa Indonesia itu tersenyum dan mengucapkan selamat pada Cici. Pasti Bu Hanifah sudah membaca majalah Cemara edisi terbaru di perpustakaan sekolah.

“Begini, Cici. Sekolah kita dapat undangan untuk mengikuti lomba cipta cerpen SMA tingkat kota. Saya merekomendasikan kamu untuk mengikuti lomba itu,” kata Bu Hanifah.

Cici merasa terhormat, ia pun mengangguk.

***

Pulang sekolah Cici mampir ke Pasar Senggol. Menuju lapak majalah bekas langganannya. Setengah jam kemudian Cici membayar untuk sepuluh majalah bekas edisi tahun 1980-an, kemudian pulang.

Keesokan hari, Cici menemui Bu Hanifah.

“Wah, cepat sekali. Kemarin ibu minta, eh, hari ini sudah jadi cerpenmu,” kata Bu Hanifah kagum.

Cici tersenyum bangga. Keluar dari ruang guru, ponsel Cici berdering. Masuk sebuah surel dari redaksi majalah Cemara. 

Yth. Cici Paramita.

Dengan hormat.

Berdasarkan laporan dari pembaca dan setelah kami telusuri, kami menemukan bukti yang akurat bahwa cerpen-cerpen Anda yang telah dimuat di majalah kami adalah hasil jiplakan. Kami telah mengadakan rapat, dan kami memutuskan untuk mem-black list Anda. Anda tidak kami perkenankan mengirimkan lagi cerpen ke majalah kami selama-lamanya.

Hormat kami

Stella

Redaktur Fiksi

Wajah Cici tegang. Tangannya gemetar. Ponsel digenggamannya nyaris jatuh. Menuju ruang kelas, langkah Cici seperti berjalan di kedalaman lumpur.

***

Seminggu telah berlalu. Di ruang guru, Bu Hanifah telah menanti. Sorot matanya tampak redup. 

“Saya malu, Ci,” kata Bu Hanifah. “Sekolah ini malu. Kamu telah menaburkan setitik nila ke dalam sebelanga susu.”

Bu Hanifah mengeluarkan majalah Cemara edisi terbaru dari laci meja.

“Meski pengumuman dalam majalah ini tidak mencantumkan sekolahmu, tapi banyak orang tahu kamu sekolah di sini,” Bu Hanifah menunjuk sebuah pengumuman di majalah itu.

Cici melirik pengumuman itu.

Kami memohon maaf kepada pembaca, karena telah memuat cerpen-cerpen karya Cici Paramita yang ternyata hasil menjiplak. Kami telah mem-black list cerpenis tersebut. Kepada cerpenis lain, kami harap tidak melakukan tindakan tidak jujur. Jujurlah sejak dari muda.

Tangis Cici pecah. Beberapa guru di ruangan itu, menoleh. Tatapan mereka kecewa bercampur iba.

“Maafkan saya, Bu. Saya menyesal,” kata Cici di sela tangisnya.

Bu Hanifah mengeluarkan stopmap merah dari laci meja.

“Ini cerpenmu. Kita batal mengikuti lomba itu.”

Cici tertegun.

***

Pulang sekolah Cici bergegas berganti pakaian, makan siang dengan cepat, kemudian pergi. Pada ibunya, Cici berpamitan hendak ke rumah teman. Ia naik angkot dan turun di depan sebuah kompleks perkantoran berlantai tiga. 

Cici membuka pintu kaca gedung itu. Di meja customer service, seorang perempuan muda berambut sebahu berdiri menyambutnya. Cici segera mengisi formulir.

“Cici Paramita?” si customer service bergumam, saat membaca formulir Cici. “Rasanya nama ini tidak asing bagi saya. Apa Mbak pernah menulis cerpen di majalah?”

“Mm ... mungkin orang lain, Mbak. Mungkin kebetulan nama kami sama. Oh ya, berapa biaya kursusnya, Mbak?”

“Gratis, Mbak. Kursus menulis ini adalah program amal dari kami. Menyambut ulang tahun lembaga bimbel kami yang ke duapuluh. Ini ada brosurnya, Mbak,” si customer service memberikan sebuah brosur.

“Oh, baiklah. Kapan mulainya, Mbak?” tanya Cici.

“Senin lusa, Mbak. Mulai pukul tiga sore.”

***

Cici bergegas mencegat angkot. Ketika sampai rumah, Cici berseru memanggil ibunya.

“Ibu, ibu!”

Ibu sedang duduk membaca buku di ruang tengah. Cici memeluk kaki ibu dan menangis.

“Kamu kenapa, Nak?”

“Ampuni Cici, Ibu. Ampuni Cici.”

“Ya, Nak. Tapi kenapa? Ada apa?”

Cici makin erat memeluk kaki ibu. Saat ini ia ingin menangis, menumpahkan segala sesal di dada. Apapun yang akan terjadi, ia akan menceritakan semuanya pada ibu. Semuanya!

***SELESAI***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
akhir dengan permulaan yang apik, dengan diblacklistnya Cici, ia pun jadi mau belajar bagaimana caranya menulis lewat kursus. great, pak. 🤗 🌟🌟🌟🌟/🌟🌟🌟🌟🌟
@lumbalumba14 : Terima kasih sudah berkunjung, Kak. Semoga Cici baik-baik saja.
Nggak papa, ini pelajaran berharga. Berjuanglah Cici ...
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Cinta Buta Sulungku
Rosalia
Flash
Bekal Makanan
Ifha Karima
Flash
Jalan Pintas
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Lukisan Jiwa Raga
DAMAIZANNE
Novel
Bronze
Rupiah Untuk Agus
Bond Monosta
Novel
Bronze
2 Anak Surga
Paul Sim
Cerpen
Bronze
KEBODOHAN
Iman Siputra
Novel
Bronze
Can I?
Bluerianzy
Novel
HELP
Kismin
Flash
Bronze
Melahirkan Di Motor Bandung
Yovinus
Novel
Bronze
Lupa pulang
naila holisoh putri nurj
Novel
YAPPA MARADDA
Sika Indry
Novel
Jeritan yang Diburu
Mustofa P
Flash
Bronze
Sesaat Aku Bertahan Untuk Pergi
alyaandita
Novel
Kilatan Api di Langit Biru
Hargo Trapsilo
Rekomendasi
Flash
Jalan Pintas
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Dering Telepon Tua
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Penyakit Aneh (Dusta Seorang Ayah)
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Hantu Bosan
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Cinta Pertama
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Tali Pocong
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Memetik Sunset
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Jangan Tebang Pohon Sawo Itu
Sulistiyo Suparno
Flash
Jodoh di Balik Pintu
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Menjaring Matahari
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Kinjeng Biru (Cinta yang Kandas)
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Cinta yang Tak Mungkin Bersatu
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Rumah Murah Berhantu
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Balas Dendam Seorang Pengarang Yunior
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Konsultan Skripsi
Sulistiyo Suparno