Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Romantis
Gito dan Gitarnya
1
Suka
2,138
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Lima tahun Gito menjadi pengamen, sejak lulus SMA. Gitar bergambar kalajengking, tak pernah ia ganti. Ia selalu mampir ke masjid terdekat, tetapi yang paling sering ke masjid berkubah hijau. Suatu hari, saat duhur, gitarnya hilang di masjid berkubah hijau.

“Aku yang salah,” Gito bergumam. “Aku ceroboh, menaruh begitu saja gitar di teras masjid. Tak seharusnya aku begitu. Aku yang salah.”

Gito berjalan gontai meninggalkan masjid, pulang ke rumah. Ibunya bertanya, “mana gitarmu?”

“Hilang, Ibu,” lirih, Gito menyahut, lantas bercerita peristiwa di masjid. “Saya yang salah, Ibu. Biasanya, saya selalu menyandarkan gitar itu di dinding dekat saya salat. Tapi, tadi saya tergesa-gesa, waktu duhur hampir habis. Lalu saya menaruh gitar begitu saja di teras masjid.”

“Sudahlah, yang penting kamu selamat, Nak,” ibunya menghibur. “Gitar bisa dibeli lagi. Berapa harga gitar sekarang, Nak?”

“Harga-harga sudah pada naik, Ibu. Harga gitar baru mungkin sekitar tiga ratusan ribu.”

“Mahal sekali? Apa ndak ada yang lebih murah?”

“Mungkin di Pasar Senggol ada yang murah, Ibu.”

***

Gito telah menyiapkan sejumlah uang di saku depan celana jins lusuhnya. Semalam ia telah rembugan dengan ibu. Ia akan mengambil sebagian tabungan untuk membeli gitar bekas. Pagi ini, Gito berjalan menuju Pasar Senggol.

Gito menyusuri kios-kios yang berderet di pasar barang bekas itu. Tetapi sulit menemukan kios yang menjual gitar. Sampai akhirnya di pojok pasar, ia melihat sebuah gitar tergantung di sebuah kios.

Gito terkesiap, lalu melangkah gegas mendekati kios itu, seakan berpacu dengan waktu. Napasnya terengah-engah ketika sampai di kios. Ia mendongak memandang sebuah gitar yang tergantung di langit teras kios.

“Berapa harga gitar ini, Pak?” Gito bertanya

“Dua ratus ribu.”

“Tinggi sekali, Pak? Seratus ribu, ya?”

“Tidak bisa, Mas. Kalau gitar biasa, mungkin saya lepas. Tapi gitar ini ada air brush-nya,” kata si pemilik kios menunjuk gambar kalajengking di bodi gitar itu.

“Seratus lima puluh?” Gito menawar

“Harga pas, Mas.”

Gito tak mau berdebat. Ia tak pandai menawar. Lebih dari itu, ia harus menyelamatkan gitar bergambar kalajengking itu. Ia tak ingin gitar itu menjadi milik orang lain.

Gito berpikir, inilah garis nasibnya. Bayangkan, kemarin ia kehilangan gitar, dan sekarang ia menemukan gitarnya di sebuah kios. Bila bukan karena kehendak Tuhan, gitar itu tentu tak lagi tergantung di kios itu.

Gito membayar gitar itu. Mendekapnya. Dadanya gemuruh. Matanya terasa hangat. Ia berjalan menunduk dan beberapa kali menyeka matanya yang basah. Beberapa orang memandangnya heran.

Gito ingin pulang untuk mengabarkan keajaiban ini pada ibunya. Ia yakin, ibunya pun akan bahagia. Bergegas, ia mempercepat langkah.

Gito mendengar teriakan seorang wanita. 

“Jambret! Jambret!”

Gito melihat seorang lelaki berlari ke arahnya. Sigap, Gito mengayunkan gitarnya. Krak! Lelaki penjambret itu terkapar di aspal, kepalanya berdarah.

Gito tertegun. Gitarnya patah!

***

Dua hari Gito tidak mengamen. Gitarnya masih di kantor polisi, untuk barang bukti. Sebuah sedan merah berhenti di halaman rumah. Seorang gadis berkulit putih, berambut panjang, turun, menemui Gito di teras.

Gadis itu mengucap salam, mengenalkan diri, lalu menyerahkan sebuah gitar baru pada Gito.

“Sebagai tanda terima kasih saya. Maaf, baru hari ini saya bisa menemui Mas Gito. Terimalah,” kata si gadis.

“Ini gitar mahal,” sahut Gito.

“Mas Gito suka?”

“Ya, tentu saja. Ini gitar bagus. Terima kasih, Mbak Marina.”

“Jangan panggil Mbak, dong? Kan saya lebih muda dari Mas Gito. Panggil saja Marina.”

“Terima kasih, Marina.”

Gito membelai gitar itu. Ada desiran lembut di hatinya.

“Maukah Mas Gito memainkan gitar ini?” pinta Marina.

“Lagu apa?”

“Bagaimana kalau Panggung Sandiwara? Saya suka lagu itu.”

Gito mengangguk dan tersenyum. Gito memetik dawai-dawai gitar dan menyanyikan lagu pesanan gadis cantik di depannya. Marina memejamkan mata mendengarkan denting dawai dan lantunan suara Gito. Ketika Gito usai memainkan lagu, Marina bertepuk tangan.

“Bagus. Suara Mas Gito bagus sekali,” kata Marina.

“Terima kasih.”

Gito menatap Marina, Marina menatap Gito. Gito tersenyum, Marina tersenyum. Gito kikuk, Marina kikuk. Apa yang terjadi kemudian? Ah, sudahlah, itu urusan mereka.

***SELESAI***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Flash
Gito dan Gitarnya
Sulistiyo Suparno
Novel
Gold
Surat Cinta Tanpa Nama
Bentang Pustaka
Flash
Bronze
Alasan Menjadikanmu Rumah
lidia afrianti
Novel
Gold
Habibie Ya Nour El Ain
Bentang Pustaka
Cerpen
November
Rama Sudeta A
Novel
Gold
Lo, Tunangan Gue!
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
The Castle In The Sky
Serafina
Novel
What is Love
Vera Shafira
Novel
Bronze
What's Wrong With You, Boss?
Nyonya Maneh
Komik
Bronze
Pacarku Ketua Genk
Mery Shera
Novel
Bronze
The Last September
lrahmaniat
Cerpen
Bronze
Ada Cinta antara Pekayon dan London
Habel Rajavani
Cerpen
Home
Rama Sudeta A
Novel
Aku Tidak Jatuh Cinta
Nine
Novel
Bronze
Kita yang Dipaksa Mati Berkali-kali
Adel Yuhendra
Rekomendasi
Flash
Gito dan Gitarnya
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
"Tolong, Sembelih Saya!"
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Ramalan Bintang
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Anak-anak Suka Mencuri Permen
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Mengampuni Maling
Sulistiyo Suparno
Flash
Sekali Saja Aku Mencintaimu
Sulistiyo Suparno
Flash
Nyanyian Penyemangat Hidup
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Membunuh Tanpa Senjata
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Konsultan Skripsi
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Balas Dendam Seorang Pengarang Yunior
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Bandit Cilik
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Anakku Minta Kawin
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Bu Guru Hastin Ditangkap Polisi
Sulistiyo Suparno
Flash
Nyonya Gerda dan Sepasang Rusa
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Pangeran di Bus Kota
Sulistiyo Suparno