Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Romantis
Gito dan Gitarnya
1
Suka
1,805
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Lima tahun Gito menjadi pengamen, sejak lulus SMA. Gitar bergambar kalajengking, tak pernah ia ganti. Ia selalu mampir ke masjid terdekat, tetapi yang paling sering ke masjid berkubah hijau. Suatu hari, saat duhur, gitarnya hilang di masjid berkubah hijau.

“Aku yang salah,” Gito bergumam. “Aku ceroboh, menaruh begitu saja gitar di teras masjid. Tak seharusnya aku begitu. Aku yang salah.”

Gito berjalan gontai meninggalkan masjid, pulang ke rumah. Ibunya bertanya, “mana gitarmu?”

“Hilang, Ibu,” lirih, Gito menyahut, lantas bercerita peristiwa di masjid. “Saya yang salah, Ibu. Biasanya, saya selalu menyandarkan gitar itu di dinding dekat saya salat. Tapi, tadi saya tergesa-gesa, waktu duhur hampir habis. Lalu saya menaruh gitar begitu saja di teras masjid.”

“Sudahlah, yang penting kamu selamat, Nak,” ibunya menghibur. “Gitar bisa dibeli lagi. Berapa harga gitar sekarang, Nak?”

“Harga-harga sudah pada naik, Ibu. Harga gitar baru mungkin sekitar tiga ratusan ribu.”

“Mahal sekali? Apa ndak ada yang lebih murah?”

“Mungkin di Pasar Senggol ada yang murah, Ibu.”

***

Gito telah menyiapkan sejumlah uang di saku depan celana jins lusuhnya. Semalam ia telah rembugan dengan ibu. Ia akan mengambil sebagian tabungan untuk membeli gitar bekas. Pagi ini, Gito berjalan menuju Pasar Senggol.

Gito menyusuri kios-kios yang berderet di pasar barang bekas itu. Tetapi sulit menemukan kios yang menjual gitar. Sampai akhirnya di pojok pasar, ia melihat sebuah gitar tergantung di sebuah kios.

Gito terkesiap, lalu melangkah gegas mendekati kios itu, seakan berpacu dengan waktu. Napasnya terengah-engah ketika sampai di kios. Ia mendongak memandang sebuah gitar yang tergantung di langit teras kios.

“Berapa harga gitar ini, Pak?” Gito bertanya

“Dua ratus ribu.”

“Tinggi sekali, Pak? Seratus ribu, ya?”

“Tidak bisa, Mas. Kalau gitar biasa, mungkin saya lepas. Tapi gitar ini ada air brush-nya,” kata si pemilik kios menunjuk gambar kalajengking di bodi gitar itu.

“Seratus lima puluh?” Gito menawar

“Harga pas, Mas.”

Gito tak mau berdebat. Ia tak pandai menawar. Lebih dari itu, ia harus menyelamatkan gitar bergambar kalajengking itu. Ia tak ingin gitar itu menjadi milik orang lain.

Gito berpikir, inilah garis nasibnya. Bayangkan, kemarin ia kehilangan gitar, dan sekarang ia menemukan gitarnya di sebuah kios. Bila bukan karena kehendak Tuhan, gitar itu tentu tak lagi tergantung di kios itu.

Gito membayar gitar itu. Mendekapnya. Dadanya gemuruh. Matanya terasa hangat. Ia berjalan menunduk dan beberapa kali menyeka matanya yang basah. Beberapa orang memandangnya heran.

Gito ingin pulang untuk mengabarkan keajaiban ini pada ibunya. Ia yakin, ibunya pun akan bahagia. Bergegas, ia mempercepat langkah.

Gito mendengar teriakan seorang wanita. 

“Jambret! Jambret!”

Gito melihat seorang lelaki berlari ke arahnya. Sigap, Gito mengayunkan gitarnya. Krak! Lelaki penjambret itu terkapar di aspal, kepalanya berdarah.

Gito tertegun. Gitarnya patah!

***

Dua hari Gito tidak mengamen. Gitarnya masih di kantor polisi, untuk barang bukti. Sebuah sedan merah berhenti di halaman rumah. Seorang gadis berkulit putih, berambut panjang, turun, menemui Gito di teras.

Gadis itu mengucap salam, mengenalkan diri, lalu menyerahkan sebuah gitar baru pada Gito.

“Sebagai tanda terima kasih saya. Maaf, baru hari ini saya bisa menemui Mas Gito. Terimalah,” kata si gadis.

“Ini gitar mahal,” sahut Gito.

“Mas Gito suka?”

“Ya, tentu saja. Ini gitar bagus. Terima kasih, Mbak Marina.”

“Jangan panggil Mbak, dong? Kan saya lebih muda dari Mas Gito. Panggil saja Marina.”

“Terima kasih, Marina.”

Gito membelai gitar itu. Ada desiran lembut di hatinya.

“Maukah Mas Gito memainkan gitar ini?” pinta Marina.

“Lagu apa?”

“Bagaimana kalau Panggung Sandiwara? Saya suka lagu itu.”

Gito mengangguk dan tersenyum. Gito memetik dawai-dawai gitar dan menyanyikan lagu pesanan gadis cantik di depannya. Marina memejamkan mata mendengarkan denting dawai dan lantunan suara Gito. Ketika Gito usai memainkan lagu, Marina bertepuk tangan.

“Bagus. Suara Mas Gito bagus sekali,” kata Marina.

“Terima kasih.”

Gito menatap Marina, Marina menatap Gito. Gito tersenyum, Marina tersenyum. Gito kikuk, Marina kikuk. Apa yang terjadi kemudian? Ah, sudahlah, itu urusan mereka.

***SELESAI***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Flash
Gito dan Gitarnya
Sulistiyo Suparno
Novel
Gold
Hector & the Search for Love
Noura Publishing
Novel
Gold
First Couple In Love
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Blueprint
Nur Halimah
Novel
Bronze
Binar Sendu
Permatasari
Novel
Our Lie
Dini Salim
Novel
Bronze
The Castle In The Sky
Serafina
Novel
Bronze
Penguasa Hati
Diba Tesi Zalziyati
Novel
Past and Future
Lydia
Novel
Aku, Hujan, dan Pelangi
Calse Ratnasari Soegiarto
Novel
Bronze
GOODBYE SINGAPORE
Embart nugroho
Novel
CINTA LAKSANA EKSTASI
mahes.varaa
Flash
Bronze
Should I Love You, Rud?
Shabrina Farha Nisa
Novel
Bronze
Aku Terjemput
Cia Ajeng Anjelisdya
Novel
Bronze
Too Late
Marwah Wafa' Azzahra Choirunnisa
Rekomendasi
Flash
Gito dan Gitarnya
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Sisi Romantis Seorang Pembunuh
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Ibu Datang Membawa Seorang Gadis
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Gadis Panggilan di Pelataran Masjid
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Cemburu yang Aneh
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Kecupan Rere
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Rumah Murah Berhantu
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Tujuh Daun Bidadari
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Anak-anak Suka Mencuri Permen
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Tas Papa
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Pengangguran
Sulistiyo Suparno
Flash
Sekali Saja Aku Mencintaimu
Sulistiyo Suparno
Flash
Jodoh di Balik Pintu
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Warisan Tuan Reading
Sulistiyo Suparno
Flash
Cinta di Ujung Lidah
Sulistiyo Suparno