Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kau berjalan tertatih menaiki anak tangga, menuju balkon, sambil membawa secangkir affogato.
“Sayang. Ini kopinya. Ehm, mungkin kau bosan setiap hari, pagi dan sore selalu minum kopi hitam tanpa gula. Sore ini kubuatkan affogato untukmu. Bukankah dulu kau sangat suka minum affogato. Es krim vanila yang disiram espresso. Kau masih ingatkan sayang, bagaimana cita rasanya?” Katamu sambil meletakan satu cangkir racikan kopi khas Italia di atas meja.
Kemudian kau duduk di sebelah perempuan cantik yang sudah berumur genap setengah abad. Kau memanggil perempuan bernama Maia itu dengan sebutan sayang. Tak berubah dari sejak menikah sampai kau menua bersamanya.
Tak ada reaksi dari Maia. Dia bergeming, tatapannya kaku dan kosong. Kau menarik tangan kanan Maia, mengecupi punggung tangan yang mulai keriput dan pucat, lalu kau mengecup pipinya, tapi sama saja, tak ada respons sama sekali dari Maia.
Kau menghela napas, menelan kekecewaan dan menyembunyikan tangis dalam sesaknya dada. Kau masih belum ingin menyerah. Berbagai cara kau lakukan untuk mengembalikan ingatan Maia, berbagai tempat kenangan kau datangi lagi, demi menyuburkan rindu Maia, kau juga tak pernah bosan untuk mengulang-ulang cerita, berharap mendapatkan binar bahagia di mata Maia. Akan tetapi hasilnya sama saja, Maia tetap tak merespons semua yang kau lakukan. Dia seperti mayat hidup yang menunggu takdir berakhir.
“Maia sayang, kau haus. Aku suapkan affogato ya,” kau mengangkat cangkir dan menyendokan es krim bermandi kopi itu ke mulut Maia. Bibir merah Maia bergerak perlahan, menerima suapanmu. Setelah beberapa sendok, kau meletakan kembali cangkir di meja, kemudian kau menggenggam erat tangan Maia. Dengan sehelai tisu, kau membersihkan pinggiran bibir Maia yang terkena lelehan es krim.
“Sayang. Kau masih ingat nggak tempat ini? Ini negeri di atas awan, dulu kita berbulan madu di sini, di vila ini. Dulu tiap sore kau mengajakku duduk di balkon ini sambil menunggu matahari terbenam. Aku bermain gitar dan kau menyanyi. Kau masih ingatkan lagu kesayangan kita berdua?” kau diam, memberi jeda pada Maia untuk mengingat.
Kau tatap dua bola mata Maia yang berwarna kuning kecoklatan, menunggu reaksi Maia.
Sembari menunggu reaksi Maia, kau kembali menyuapkan es krim, tapi sampai es krim mau habis Maia tak juga bicara. Kau hampir putus asa. Kau menyembunyikan wajah di belakang punggung Maia, untuk menyeka air mata.
Sudah tiga tahun ini kau berjuang keras untuk membantu Maia mengembalikan ingatannya, selama ini juga kau memilih untuk mengurus Maia sendiri tanpa bantuan perawat, sebab kau tak ingin Maia melupakanmu, kau harus terus menyirami hati Maia dengan perhatian, agar benih cinta yang kau tanam bertahun-tahun tetap subur, sedetik pun kau tak ingin hilang dari ingatan Maia. Kau ingin tetap menjadi orang pertama yang Maia lihat saat dia membuka mata.
Tapi garis nasib seperti mobil balap formula F1, melaju dengan mulus di jalan yang halus, lalu bermanuver dengan cepat dan menghantam keras garis pembatas. Maia bukan hanya melupakanmu dan anak-anak kalian, tapi dia juga lupa bagaimana cara untuk buang air.
Semua terjadi begitu cepat dan sangat mengerikan. Kini Maia tak bisa melakukan apa-apa lagi, untuk mengunyah makanan pun dia sudah tak sanggup.
Meski harapan sudah sehalus rambut, kau masih saja bercerita dengan suara serak. Sesekali kau diam untuk menyeka air mata, dan mencium tangan serta pipi Maia. Sampai akhirnya kepala Maia luruh dibahumu, lalu kau menggendong Maia, membawanya ke kamar dan membaringkannya. Setelah semua beres, kau berbaring di sebelah Maia, memeluk tubuhnya yang mulai susut, sembari menyenandungkan salawat fatih, sampai kau juga ikut tertidur.
Esoknya. Pas azan subuh kau terbangun, kau meraba tubuh Maia yang dingin, merapatkan selimutnya dan kau meninggalkannya sebentar untuk mendoakan Maia. Selepas itu kau ke dapur, membuatkan sarapan dan menyiapkan air mandinya.
Seperti biasa tepat pukul setengah tujuh kau membangunkan Maia untuk mandi, tapi Maia tak mau bangun. Kau duduk di sisi tubuh istrimu, menatap lekat-lekat gelombang di dadanya, gelombang itu surut, bahkan riak pun tak ada. Untuk beberapa saat jantungmu seakan berhenti berdetak, darah seakan tak mengalir, waktu seolah terhenti seketika.
“Sayang. Kau masih mendengar suaraku kan?” kau diam menunggu gerakan bola mata Maia, tapi mata itu terpejam rapat sekali, dengan bibir yang mengulas senyum kebahagiaan.
“Maia sayang. Bangun, aku sudah menyiapkan air mandimu, aku juga sudah membuatkan sarapan kesukaanmu.
Setangkup roti sandwich lapis keju, daging, tomat dan selada. Pagi ini aku membuatkan kopi susu buatmu. Bangunlah, Mai. Meski kau tak menyapaku, melihat matamu terbuka saja aku sudah bahagia. Mai, Mai, bangun sayang,” kau memanggil Maia berkali-kali, tetapi kelopak matanya tetap terkatup rapat.
Kau menangis sesenggukan, memeluk tubuh Maia, menciumi wajah kekasih yang sangat kau cintai, tangismu semakin kencang, ketika telingamu menempel di dada Maia, kau tak mendengar suara detak jantung Maia. Selanjutnya kau tak ingat apa-apa lagi.
Saat kau terbangun, kau melihat vila sudah ramai oleh orang-orang. Kau melihat Viandra dan Viyasha duduk di sisi ranjang. Kau buru-buru bangun, turun dari ranjang.
“Buya mau ke mana?” tanya Viyasha.
“Buya belum memandikan Umi, mana Umimu?” kau menatap Viandra dan Viyasha bergantian. Keduanya menunduk, menyembunyikan butiran air yang menggantung di sudut mata.
Kau cepat-cepat ke luar kamar. Memanggil-manggil nama Maia. Semua orang menatapmu haru. Sampai di ruang tamu kau tersungkur memeluk Maia yang terbaring di ruang tamu, selembar kain batik panjang menutupi seluruh tubuh Maia, hingga menutupi wajah.
Hatimu sangat hancur melihatnya. Sejak awal kau tahu ini sangat berat sekali, tapi hanya itu satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan Maia. Semua ini kau lakukan karena kau teramat mencintai Maia, kau tak sanggup lagi melihatnya menderita dengan Alzhaimer yang menggerogoti seluruh ingatan dan merusak sistem kerja otak.
Kau sengaja membubuhkan arsenik pada racikan affogato untuk mempercepat takdir. Namun, kini kau harus menanggung akibatnya, hatimu remuk oleh rindu.