Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ariono tersenyum sembari menyodorkan sebuah undangan ke hadapanku. Aku pun terbelalak. Memang, sih, kabar itu sudah santer. Namun … Ariono dan Desi … rasanya terlalu spektakuler.
“Bisa datang, kan?” Ariono kembali tersenyum.
Aku tidak langsung menjawabnya. Toh, aku yakin ia sudah tahu jawabanku.
Ah, Ariono memang sudah banyak berubah. Dulu, ia hanya murid cupu yang selalu minder dan cenderung menarik diri. Kondisi ekonomi yang membuatnya seperti itu.
Meski SMA kami dulu bukanlah sekolah mewah, untuk ukuran desa sudah merupakan favorit, incaran para pemuda untuk memperbaiki masa depannya. Tentu saja yang berhasil masuk adalah pelajar terpilih. Dan Desi adalah bintang di angkatan kami.
Ariono sebenarnya cerdas. Namun, latar belakangnya yang dari keluarga menengah-bawah membuatnya kerap diremehkan. Meski demikian, itu tak menghalanginya untuk memiliki mimpi. Desi adalah salah satunya–sang kembang sekolah yang sudah membuat hatinya tertambat. Tentu saja ia tidak pernah mengutarakan perasaannya. Menceritakannya pun hanya kepadaku, satu-satunya teman yang paling dekat. Ia malu, takut diejek bagai pungguk rindukan bulan.
Toh, ejekan itu tetap saja tersemat. Namun, bukan karena Desi, melainkan karena mimpinya yang lain. Ya. Ariono memang banyak mimpi. Sampai-sampai ia dianggap seperti mimpi di siang bolong.
Bagaimana tidak? Bahkan mimpinya yang satu itu pun sama sulitnya seperti memimpikan Desi. Karena, Ariono ingin kuliah!
Di desa kami, mengenyam pendidikan tinggi adalah kemewahan. Lulus SMA, umumnya langsung bekerja. Yang perempuan, siap-siap saja menerima lamaran dari pemuda. Hanya anak-anak yang–lebih–”terpilih” lagi yang bisa bermimpi untuk melanjutkan pendidikan. Dan ketika formulir Ariono bocor, ia pun menjadi ejekan para siswa di sekolah. Apalagi ketika membaca kampus yang disasarnya, sebuah kampus terbaik di pusat negeri.
Menembus seleksi saja sulit. Ditambah dengan biayanya yang sangat besar. Uang dari mana?
“Biar saja! Aku ingin mengubah nasib. Aku tidak ingin seperti kakak-kakakku.” Begitu dalih Ariono saat itu.
Selepas SMA, Ariono seolah menghilang. Belakangan, aku baru tahu kalau ia benar-benar mengejar mimpinya. Katanya, ia berhasil mendapatkan beasiswa. Aku sangat senang mendengarnya. Ia memang gigih.
Melalui media sosialnya, aku juga tahu kalau ia menyambi bekerja, bahkan membangun usaha. Lambat laun, usahanya kian berkembang. Terutama ketika mendapatkan suntikan dana dari seorang investor.
“Namanya Pak Rudi. Ia adalah salah satu alumni senior. Kau paham, kan? Kampus-kampus besar itu biasanya punya jaringan kuat. Apalagi di kampus ini. Aku beruntung bertemu dengan Pak Rudi, seorang pejabat sukses tapi rendah hati. Dulu aku ikut lomba wirausaha yang diadakan kampus. Memang tidak menang. Namun, siapa sangka kalau Pak Rudi ternyata tertarik dengan proposalku?” Ariono menutup ceritanya sambil menyesap kopi.
Aku tersenyum. Bahkan, secangkir kopi seharga 60.000 ini pun ia yang traktir. Ia memang sudah menjelma menjadi salah satu anak muda inspiratif. Usaha startup-nya berkembang sangat pesat. Meski tetap saja aku terkejut melihat kesetiaannya pada Desi.
“Pokoknya, kau harus datang.” Ariono tersenyum, lalu pamit.
Aku mengangguk. Tepat ketika Ariono pergi, ponselku berdering. Dari atasanku rupanya.
“Ya … halo? Betul dugaan kita. Rudi itu memang licik. Ia mencuci uang hasil korupsi dengan memberikan modal pada pengusaha-pengusaha baru. Tapi jangan khawatir. Pembicaraan tadi sudah saya rekam. Kita tinggal atur saja tanggal mainnya.”
Aku tersenyum dan menutup telepon.