Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hal yang paling menyedihkan dari kehilangan adalah melupakan. Mengapa kehilangan selalu meminta kita untuk saling melupakan? Padahal sesuatu yang hilang seharusnya dicari, bukan dilupakan begitu saja. Mengapa melupakan menjadi alternatif yang kita pilih ketika kita telah kehilangan seseorang? Bukankah melupakan adalah hal yang tersulit yang harus dihadapi seseorang?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar di kepalaku semenjak kamu memilih pergi dan tidak akan pernah kembali. Sejak saat itu juga aku memilih untuk mengunci perasaan yang selama ini aku miliki. Sudah kubuang jauh-jauh emosi bernama cinta itu ke dalam lautan yang tercipta oleh ribuan tetes air mata.
Hingga pada suatu hari, datang seorang lelaki yang bersikeras membuka kembali hati yang sudah lama aku kunci. Dia mencari ke setiap sudut rumahku untuk menemukan di mana kunci itu.
Dia bertanya kepadaku, "Di mana kuncinya? Kamu ingat?" Aku hanya menjawab, "Tidak."
Bukan sekali atau dua kali dia bertanya seperti itu kepadaku. Dia terus menanyakan hal yang sama berulang kali hingga aku merasa muak.
"Untuk apa aku mengingat di mana kunci yang saat ini benar-benar membuatku ingin mati?!" Kalimat itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.
"Kunci itu memang pernah disalahgunakan, tapi hal itu tidak akan terjadi lagi. Aku akan menggunakannya dengan sebaik mungkin sampai-sampai kamu tidak akan pernah berpikir untuk membuangnya lagi, Ta." Lelaki itu masih bersikeras mencarinya hingga aku mulai bertanya-tanya. Dari sekian banyak perempuan, kenapa harus aku, Ka?
"Tapi aku tidak menginginkanmu, Ka." Aku mencoba menghalanginya untuk terus mencari kunci itu.
"Tapi aku menginginkanmu. Aku ingin kamu. Kalau kamu akan terus mencoba menghalangiku, maka aku juga akan terus mencoba menemukan di mana hatimu itu." Dia terus menerobos masuk ke hidupku tanpa seizinku. Dia sungguh tidak peduli dengan apa mauku. Dia malah memilih untuk melakukan apapun yang dia mau. Ya, seperti kamu. Bedanya, kamu memaksa pergi sedangkan dia memaksa untuk tetap di sini.
"Hatiku nggak kemana-mana, Ka."
"Hatimu kemana-mana, Ta. Sampai sekarang hatimu masih terbawa olehnya. Hatimu nggak di sini, nggak ada di tubuhmu apalagi di tubuhku."
Aku diam. Ternyata memang benar. Hatiku tidak di sini, tidak ada di tubuhku lagi. Aku hidup tanpa organ bernama hati saat ini. Entah sampai berapa lama lagi ini akan terjadi. Apakah sudah waktunya aku untuk membuka hati?
"Tapi jika aku membuka hatiku kepadamu, kamu hanya akan menjadi objek pelarianku saja, Ka. Aku nggak mau ngelakuin itu, apalagi ke kamu."
"Nggak papa, Ta. Asal kamu jadi baik-baik aja, aku nggak papa. Cinta bisa datang kapan saja, Ta. Mungkin cinta itu akan datang ketika kamu sudah mau bersamaku. Siapa tau?" Dia tetap kukuh dengan keinginannya untuk mencintaiku. Ya, dia, sahabatmu yang dulu kausebut pengecut di depanku. Kini dia menjadi seseorang yang akan menyebutmu pengecut di depan keluarga barumu, keluarga yang kamu bangun bersama seorang perempuan yang dulunya adalah sahabat terbaikku.