Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selalu begini. Bila Vinca mengirim WA agar aku cepat-cepat menemuinya, pasti ada masalah padanya. Pesan elektronik itu berubah menjadi magnet bagiku. Kusambar kunci Satria hitamku, lalu dalam sekejap aku telah larut di kepadatan jalanan kota.
Kutemukan Vinca duduk di pondok bambu mungil di sebuah pantai. Gadis berambut sebahu itu merokok! Aku menggeleng dan mendesah. Sigap, kucabut rokok mentol dari bibirnya yang merah merekah.
“Berikan padaku, Benny!” protesnya.
“Nggak! Aku nggak mau dunia kehilangan seorang gadis cantik karena sebatang rokok!”
“Berikan! Kamu nggak berhak melarang apa yang aku lakukan!”
Aku tertegun. Vinca benar. Apa hakku melarang? Apa aku pacarnya?
“Aku temanmu. Nggak bolehkah teman menasehati teman?” kataku.
Gantian Vinca yang tertegun. Bibirnya terlipat. Ah, namanya gadis cantik, walau cemberut pun tetap menawan. Aku terpesona beberapa saat.
“Ya, sudah. Kamu ambil saja. Aku masih punya banyak!” Vinca mengeluarkan bungkus rokok dari kemeja kotak-kotaknya, mengambil sebatang, lalu menyulutnya.
“Kamu memintaku ke sini. Ada masalah apa lagi?” tanyaku sambil membuang rokok yang tadi kusambar dari bibir ranum Vinca.
“Aku putus!” Vinca mengembuskan kuat-kuat asap rokok barunya.
Hatiku tersentak mendengar kabar itu. Namun, mengapa muncul pula sepotong bahagia di hatiku mendengar kabar Vinca putus? Seingatku, ini kali ketiga Vinca patah hati. Seingatku, ini kali ketiga aku mencabut rokok mentol dari bibir Vinca yang mungil.
“Kamu nggak sedih aku putus?” tanya Vinca seakan menggugat.
Aku tergeragap. “Aku ikut sedih,” kataku. Ah, benarkah aku sedih? Bukankah aku selalu berharap Vinca putus dengan siapapun cowok yang memacarinya?
“Aku nggak mau jatuh cinta lagi!” kata Vinca.
Aku terhenyak. Mengapa ucapan-ucapan Vinca hari ini menghentak-hentak dadaku?
“Mereka, para mantan cowokku itu, menganggap aku nggak bisa dimengerti. Apa nggak sebaliknya? Aku nggak mengerti apa mau mereka. Bagaimana menurutmu, Benny?”
“Bagaimana apanya?”
“Semua cowok egois!”
“Nggak semua cowok, kok,” kataku. “Masih ada cowok yang baik.”
“Tunjukkan padaku, di mana aku bisa menemukan cowok yang baik?” desaknya.
Di sini, di depanmu. Tetapi, kalimat itu tersangkut di ujung lidahku. Aku hanya mampu menelan ludah. Pahit!
“Aku percaya sama kamu. Trims atas saran kamu,” Vinca melakukan isapan terakhir, lalu membuang rokoknya.
“Saran?” tanyaku.
“Bahwa nggak semua cowok egois. Bahwa masih ada cowok yang baik,” sahut Vinca. “Baiklah. Bila kutemukan cowok yang baik itu, aku mau jatuh cinta lagi.”
Aku lega mendengarnya. Harapanku terbuka lagi. Aku yakin Vinca sedang melempar sinyal, tetapi mengapa aku nggak juga menangkapnya? Aku ingin menyuarakan hatiku, tetapi, lagi-lagi, suaraku tersangkut di ujung lidah.
“Mengapa bengong?” sentaknya.
“Apa?”
“Sebal!” sungutnya. “Yuk, cabut saja. Cari bakso!”
Vinca sigap duduk di boncengan Satria hitamku. Memakai helm cadangan yang sengaja kubawa.
Kami segera meluncur tanpa tujuan. Di belakangku, kudengar Vinca menggumam kesal. “Cowok bodoh!”
***SELESAI***