Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku melihat ke bawah, pada lantai café yang hanya diiringi alunan gitar lembut yang memenuhi indra pendengaranku, berusaha agar tidak menangis atas ucapan yang kamu lontarkan padaku. Namun kamu masih asik dengan gawai di tangan. Seolah aku tak berada di sana.
“Kamu kenapa?” tanyamu begitu hening menyelimuti kita. Aku menggeleng. Lagi-lagi tak bisa mengutarakan apa yang aku rasakan.
“Sedih karena aku? Karena kata-kata aku di tongkrongan tadi? Kan bercanda, sayang.” Kamu melihat lekat pada wajahku yang masih mengindahkan lantai di bawah, dan mencoba membelai pipi kiriku.
Aku menarik napas dan menghembuskannya panjang. “Nggak lucu, Adrian. Candaan kamu sama sekali nggak lucu.”
Kamu mengernyit. Ekspresi yang paling kubenci tiap kali kuutarakan perasaanku.
“Aku nggak ngerti, deh. Kenapa kamu bisa marah perihal kecil kayak gitu? Sensitif banget.”
Hatiku mencelos mendengarnya. Kurasa buliran air mata berusaha keluar dari kantung mataku.
“Maaf.”
Lagi-lagi, mengapa aku yang meminta maaf?
“Kelewat sensitif ya, aku?”
Mengapa harus aku yang terus mengerti?
“Udahlah, nggak usah dipikirin. Capek mikirin hal nggak penting kayak gitu.” Kamu menghentikan percakapan kita dengan kembali fokus pada gawaimu. Kamu menghentikan air mataku yang malu keluar begitu mendapat respon tak mengenakkan darimu.
“Lain kali, boleh nggak kamu nggak usah bercanda kayak gitu?”
“Apalagi, sih?”
Aku terenyuh. Setetes air mata kini tak terbendung lagi.
“Kenapa nangis? Aku kan udah bilang nggak usah dipikirin! Kamu tuh ngada-ngadain beban pikiran aja! Perihal aku bilang mulut kamu bau, kan? Cuma karna aku nyuruh kamu untuk sikat gigi, kan? Itu tuh bercanda! Biar nggak kaku di tongkrongan!”
“Tapi itu nggak lucu, Adrian! Masa aku lagi ngomong ke kamu terus kamu nyuruh aku sikat gigi? Mereka ngetawain itu nggak sebentar, loh! Temen-temenmu bakal mikir aku beneran bau mulut!”
“Ya coba sekarang kasih tau aku siapa yang mikir gitu? Ada? Coba, siapa? Hah?”
Aku menatapmu lama. Kaget, bingung, kecewa. Mengapa kata-kata itu yang terlontar dari bibirmu? Mengapa perasaanku tak bisa kamu pahami sama sekali?
“Nggak ada, kan? Kamu itu berlebihan,” pungkasmu, amat sangat diselingi amarah yang nampak pada matamu. Aku lagi, kah, yang salah?
“ … Maaf,” lirihku. Kembali menunduk dan hanya bisa menatap sepatumu.
Kamu perlahan berdiri dari kursi, entah pergi kemana tidak kamu sampaikan padaku. Mungkin toilet, mungkin wastafel, mungkin kasir. Mungkin perasaanku tidak terlalu penting bagimu.
Lima menit setelah kamu beranjak pergi, tidak kutemukan ragamu mencoba kembali. Apakah sesalah itu aku di matamu? Kali ini, aku pun harus mengerti jalan pikirmu, ya? Tapi, aku merasa terus direndahkan olehmu.
Kamu terlihat berjalan dari ruang kasir yang memang terpisah gedung dari tempat kita tadi berada, dengan sebotol air mineral di tangan.
Air mukamu masih sama. Aku yakin masih tersimpan amarah pada batinmu.
“Ayo, pulang,” ajakmu yang lebih terdengar seperti suruhan. Kamu mengambil semua barangmu di atas meja; korek, rokok, kunci motor, dan dompet –karena gawaimu tak pernah lepas dari genggaman.
“Adrian …” lirihku.
Ternyata bukan hanya perasaanku yang kamu abaikan, kamu bahkan tak mengubris ucapanku kali ini. Kamu berjalan pergi meninggalkanku yang masih terduduk. Entah aku pulang denganmu atau naik kendaraan umum. Kamu tak melirikku walau sebentar.
Ini bukan kejadian pertama kali atas sikapmu yang seenaknya padaku. Aku tidak mengerti harus bersikap bagaimana lagi agar kamu bisa mengerti perasaanku. Sinyal apalagi yang harus kukirimkan padamu?