Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bunyi teko mendidih terdengar. Suara orang membolak-balikkan koran, buku, juga majalah ikut berbaur. Tidak ada yang berbicara di kedai kopi dan teh milik Enggar –perjaka tua yang memilih hidup sendiri bersama kedai warisan orangtuanya. Pengunjung kedai itu kebanyakan orang-orang lama. Enggar sendiri cukup mengenal banyak dari mereka yang kebanyakan laki-laki. Termasuk Andri yang sudah duduk hampir dua jam di kursi tepat di depan barista.
“Mau kopi lagi?” Enggar menawarkan ketika melihat isi cangkir Andri sudah kosong.
Pengunjung yang sudah kenal Enggar itu mendongak dari bukunya dan menyahut, “Sudah tiga cangkir kuhabiskan. Apa itu sehat jika aku tambah lagi?”
“Kalau begitu teh saja. Sebagai penutup sebelum kau pergi,” saran Enggar.
Andri mengangguk setuju dan pesanan pun diproses. Alih-alih kembali fokus pada bukunya, dia menggerakkan kepalanya karena pegal, dan memusatkan perhatiannya pada wanita yang baru masuk kedai sempit Enggar.
Rambut abu-abunya panjang dan lurus, wajahnya tirus, bibir merahnya mungil, dan hidungnya sedikit mancung. Wanita itu duduk tepat di sebelah kanan Andri dengan raut kebingungan. Terlihat jelas jika dia pengunjung baru, karena Andri tidak pernah melihatnya.
“Apa ada menu chamomile tea?” tanya wanita itu pada Enggar yang menyambutnya sambil membuat pesanan Andri.
“Maaf, kami tidak punya menu itu. Tapi kamu bisa memesan menu teh lainnya seperti, teh melati atau teh hijau.”
“Teh melati saja kalau begitu.” Senyuman wanita itu terekam baik di kepala Andri.
Buku tak lagi menarik untuk Andri. Sebagai pria lajang hampir kepala tiga, dia selalu mengajak berkenalan wanita yang menarik perhatiannya.
“Baru berkunjung ke sini?” sapanya.
“Iya, pertama kali. Kamu sudah sering?”
“Sudah tiga tahun. Tidak ada kedai yang nyaman menurutku selain tempat ini. Selain tenang dan sunyi, kedainya bersih.”
Wanita itu mengangguk anggun sembari terus tersenyum. Sungguh wanita idaman Andri. Lalu dia mengeluarkan buku dari tas coklatnya. Membuat Andri tak menyangka jika buku bacaan mereka sama.
“Murder At Shijinso?”
Wanita itu terperangah dan kembali beradu pandang pada Andri. “Ya, kamu baca juga?”
Andri mengangkat bukunya tepat di depan wajah mereka. “Kamu punya selera yang bagus. Baru baca atau sudah setengah jalan?”
“Waw! Kebetulan yang luar biasa. Enggak pernah aku temui kejadian seperti ini. Baru halaman sepuluh.”
Tak ingin mengganggu lebih banyak lagi, Andri hanya berkata, “Silakan lanjut baca.”
Keduanya hening. Hingga teh Andri datang lebih dulu. Disusul teh melati sang wanita. Setengah jam berlalu. Bahkan hingga satu jam terlewati. Andri dan wanita itu tak bicara lagi. Mereka sibuk dengan bukunya masing-masing.
“Enggak bisa bayangin kalau jadi para mahasiswa yang terjebak di vila,” celotehnya tanpa aba-aba.
Andri menoleh setengah sadar dari lamunan fiksinya. “Eh, benar. Dikepung para zombie, juga pembunuh yang entah siapa itu.”
“Menurut kamu, siapa pembunuhnya di antara mereka?” Wanita itu memutar kursinya hingga mengarah pada Andri sepenuhnya.
Andri yang terkagum dan hilang akal hanya tersenyum malu-malu. “Mungkin si tokoh utamanya. Aku sudah baca lebih banyak dibanding kamu. Jadi, aku punya tebakan si tokoh utama yang sepertinya menjadi pembunuh.”
“Hm, aku curiga sama para tokoh perempuannya, tapi belum tahu siapa. Pusing baca narasi-narasi tebakannya,” ujarnya sambil menyisiri rambut dengan tangannya. Membuat Andri lebih terkesiap dengan pesonanya. “Tunda dulu deh.”
“Ya, memang baca cerita misteri terkadang memusingkan,” kata Andri menutup bukunya yang sudah ditandai. “Sudah baca genre j-lit apa saja?” Dia bertanya sebagai basa-basi.
“Baru Absolute Justice sih, ini yang kedua.”
Keduanya pun terhanyut dalam obrolan seputar novel j-lit. Andri melihat wanita itu begitu antusias mendengar ocehannya. Pun sebaliknya. Sampai pada suatu momen.
“Jadi, kamu lulusan UI tiga tahun lalu?”
“Iya. Kamu sendiri lulusan UI tahun berapa?” Suara lembut wanita itu sangat mulus masuk ke telinga Andri.
“Tujuh tahun lalu. Sudah tua banget ya?”
Wanita itu tertawa, “Ah, enggak juga kok. Kelihatan masih keren.”
Pujiannya semakin membuat Andri terbang melayang. “Oh iya, dari tadi ngobrol belum tahu namanya. Aku Andri.” Dia mengulurkan tangannya.
Sebelum sempat sang wanita menjabat tangan Andri, pengunjung pria yang baru masuk memanggil seseorang. “Lyn!”
Wanita yang kini di hadapan Andri menoleh dan bangkit dari kursi. Cipika-cipiki pada pria yang baru datang dan menjawab, “Mas, lama sekali. Aku sudah menunggu hampir satu jam. Beruntung Mas ini mau menemaniku bahas soal novel j-lit.”
“Oh ya? Maaf ya, Mas tadi lama nunggu Taxi sewaktu di Bandara.”
Andri mematung. Melihat keromantisan antara keduanya. Di dalam dada, hatinya sudah pecah. Sehingga dia tak mampu berucap lagi.
“Oh ya, Mas Andri. Ini suami saya. Dan nama saya Alyn. Senang bisa mengobrol banyak seputar novel. Aku pamit dulu ya!”
Selepas kepergiannya, Andri kembali pada bukunya. Enggar yang sedari tadi menyaksikan semuanya menghampiri Andri. Tersenyum seperti kuda dan berkata, “Wanita cantik memang selalu ada yang punya.” Enggar menepuk-nepuk bahu Andri yang tabah.