Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam jatuh. Langit gemintang serupa titik-titik putih di kanvas hitam. Angin berembus lesu, serupa desah alam yang kelelahan. Namun embusannya cukup untuk menggerakkan lembut ujung tirai jendela kamar Olga yang terbuka.
Perempuan berambut panjang itu meletakkan pena. Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya satu-satu. Wajahnya tampak keruh, matanya bersinar resah. Mengapa kenangan itu tak jua mau pergi?
Olga menatap buku hariannya, membaca goresan tinta yang diarangkai. Ya, mungkin harus begitu. Biarlah mimpi tetap menjadi mimpi, tak perlu menjelma nyata.
“Kenyataan itu menyakitkan,” desisnya, geram dan kecewa. Kemudian dia melanjutkan menorehkan kata-kata. “Cinta hanyalah segumpal embun pagi, menetes sejenak lalu sirna bersama hangat sinar mentari.”
Olga tertegun. “Tidak! Tidak seharusnya aku begini. Sentimentil hanya akan membawaku semakin larut dalam kekecewaan.”
Berikutnya, jari-jari lentik perempuan berparas ayu itu menggerakkan pena, menyilang-nyilang tak menentu, pada kertas bertuliskan kata-kata hatinya. Menyobek-nyobek kertas itu, meremas-meremas, lalu melemparkannya ke kotak sampah anyaman bambu di sudut kamar.
Olga keluar kamar, menuju dapur, membuka kulkas, mengambil es krim. Satu Conello tandas dalam beberapa menit. Namun, benang-benang kusut di kepala Olga belum juga terurai. Penat, mengesalkan.
Kemudian perempuan berbibir tipis itu menuju ruang tengah, mencoba bergabung dengan papa, mama, dan Elsa, menonton bintang-bintang pujaan menguras air mata di sinteron kacangan di televisi. Penat semakin mengurung kepala Olga, kesal semakin membuncah di dada.
Bukan ini yang diharapkan Olga. Dia tidak ingin menenggelamkan kesuntukannya semakin dalam. Kepala dan hatinya butuh keriangan, bukan kesedihan.
Olga beranjak ke teras. Duduk di kursi rotan, mencari keadaan yang diinginkan. Namun di teras, sama saja. Apakah segala penjuru di rumah ini telah menjelma kenangan menyakitkan?
Di teras itu, tertumpuk janji-janji lelaki yang hampir dua tahun bersamanya, namun semua janji itu menguap bersama waktu yang berlalu. Apakah setiap janji selalu berakhir dengan pengingkaran?
Olga berdiri dari kursi rotan yang tidak lagi romantis baginya. Dia masuk ke rumah, lalu beberapa menit kemudian muncul lagi mengenakan sweater dan syal merah. Langkahnya bergegas, membuka garasi, menghidupkan mesin mobil.
Seseorang berlari dari dalam rumah.
“Mau ke mana, Kak?” tanya Elsa, wajahnya tampak hendak turut.
“Ke mana saja,” sahut Olga dengan gurat-gurat tegang di kening.
“Ikut, Kak.”
“Tidak. Aku ingin sendiri.”
Elsa melipat bibir, kecewa. Olga masa bodoh, lalu melajukan mobilnya mencari pelipuran hati.
Olga pergi ke mal. Menyelusupkan kegundahan hatinya di antara keramaian orang di sana. Olga berhenti di dekat besi pengaman di lantai tiga. Gendang telinganya menangkap alunan musik berbagai aliran dari toko-toko di mal itu.
Bagaimana dia bisa menikmati musik kalau diputar bersamaan seperti itu? Menyebalkan! Apa yang sebenarnya Olga cari?
Kaki Olga kembali melangkah, berat dan lunglai. Namun, dia tak mau terlihat rapuh di keramaian. Sebab, perempuan rapuh akan memancing lelaki iseng untuk memangsanya. Olga menegakkan dada, melangkah percaya diri seakan semua orang di mal itu telah mengenalnya.
“Aku ingin tertawa,” gumam Olga ditingkahi ayunan ceria kaki dan tangannya. Dia menuju bioskop 21 di lantai itu. Ada festival film-film tahun 1990-an. Olga memilih film Hollywood dengan bintang Jim Carey.
Untuk sementara Olga menemukan apa yang diacari. Tertawa terbahak-bahak. Siapa yang melarang perempuan untuk tertawa lepas? Mata Olga sesekali berair melihat kelucuan Jim “Si Muka Karet” Carey.
Di sisi lain sisi romantisnya terketuk dan imajinasi menerbangkan mimpi perempuan berkulit sawo matang itu. Ah, andaikan Olga memiliki kesaktian seperti Jim Carey, perempuan itu akan memetik bintang untuk menemaninya jalan-jalan menikmati malam.
Film selesai. Olga merasakan dadanya lega dan bibir menyisakan senyum. Namun, sejenak kemudian dia tercenung. Duka dan bahagia begitu tipis batasnya, pikirnya.
Olga memutuskan untuk pulang, setelah merasa terhibur dan siap mengakhiri hari ini. Apa yang akan terjadi esok hari, itu urusan nanti. Pukul sebelas malam, Olga sampai rumah.
Langkah Olga terhenti ketika melihat seorang lelaki menunggunya di teras. Olga tidak menyapa, melanjutkan langkah gegasnya, namun lelaki itu segera menghadangnya.
“Aku menghubungimu, namun ponselmu tidak aktif,” kata lelaki itu.
“Nomormu telah kublokir,” ketus, Olga menjawab.
Lelaki itu menarik napas panjang.
“Kita harus bicara, Olga. Beri aku kesempatan, sekali saja, untuk menebus kebodohanku,” lelaki itu memohon.
“Sudah tegas kukatakan padamu, Andre. Aku tak mungkin bersatu lagi dengan lelaki yang telah mengkhianatiku. Maaf, sekali saja aku mencintaimu, tak ada yang kedua kali. Selamat malam!” Olga mendorong tubuh lelaki itu yang menghalangi langkahnya, lalu masuk ke rumah.
Di ruang tengah, langkah Olga kembali terhenti.
“Kakak kejam!” kata Elsa, berdiri di depan Olga.
“Kejam?” alis Olga terangkat.
“Kak Andre menunggu Kak Olga sejak tadi. Kak Andre sudah mengaku salah, namun mengapa Kak Olga masih membencinya?”
“Kamu tidak mengerti, Adikku. Cinta tidak sesederhana yang kamu bayangkan,” Olga tersenyum, lalu melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Membuka pintu kamar, Olga disambut embusan angin dari jendela yang terbuka. Mengapa dia lupa menutup jendela, saat hendak pergi tadi? Olga memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai, di bawah meja tulis.
Malam merambat larut. Angin makin kencang berembus, tampaknya akan hujan. Angin menerobos tirai jendela membawa hawa dingin. Olga menggigil.
Jendela kamarnya itu memang harus ditutup!
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.