Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Berdebar, itu yang sedang aku rasakan. Sofa panjang yang menjadi tempat tumpuan tubuhku, nyaris tak terasa kelembutannya. Hatiku bahkan semakin cemas menyaksikan siaran langsung persidangan yang kian alot demi memutuskan keadilan bagi lelaki itu.
"Saya tidak melakukan sesuatu yang sudah mereka tuduhkan pada saya, saya difitnah!" teriaknya, frustasi.
Keadaan ruang sidang semakin riuh. Sejak dua hari lalu pengadilan akhirnya mengijinkan persidangan untuk dilakukan secara terbuka dan disiarkan langsung melalui media elektronik.
"Saudara, semakin berbelit-belit, bukti sudah jelas dan saudara bahkan sudah menyaksikan semua tayangan video yang sudah dikirimkan sebagai barang bukti. Apakah akan terus mengelak? Sekali lagi, saya pastikan kepada saudara, apakah saudara melakukan tindak pidana yang dituduhkan terlapor? Jawab dengan jujur dan tanpa ditutup-tutupi?" tanya Hakim.
Aku memainkan bibirku dengan tangan, menanti kebenaran yang akan segera menyeruak ke permukaan. Layar televisi menyorot kembali lelaki yang terduduk dengan wajah dingin itu. Loma, nama yang tertulis di layar televisi, tak terlihat merasa bersalah.
"Saya difitnah! Sudah berapa kali saya katakan! Saya difitnah!" elaknya lagi.
Raut wajah hakim semakin tegas, lembaran-lembaran dakwaan kembali dibuka, pengacara yang mendampingi lelaki itu siap mengajukan banding dengan menyerahkan beberapa berkas sebagai bahan bandingan untuk membela kliennya.
Hakim menerima berkas-berkas pendukung itu, kening yang mengerut dalam itu menyorot perhatian media. Peluhku semakin bercucuran menyaksikan hakim yang terus membuka lembaran banding dari lelaki itu. Aku panik, aku takut dan semakin gelisah.
Setelah hakim mempelajari dan menelaah berkas banding yang diberikan lelaki itu, mereka terlihat kembali berdiskusi. Aku gugup, hingga tak sadar bibirku berdarah akibat tarikan kasar pada kulit mati yang kuperbuat.
Semua orang yang berada di ruang sidang terlihat begitu fokus dan penuh amarah, berbeda denganku yang terus saja menahan risau di atas sofa, dengan kaki yang aku mainkan.
Hakim selesai berdiskusi, dan kembali menghadap ke depan, mempertemukan mata mereka. "Apakah semua yang saudara serahkan ini benar adanya? Ini bukan alibi yang sengaja saudara buat?" tanya Hakim.
"Banding yang saya ajukan tidak dibuat-buat dan bukan rekaan, itu kejadian sesungguhnya," jawab Loma dengan pasti dan penuh percaya diri.
Kemudian hakim membisikkan sesuatu pada seseorang yang menghampirinya, aku tidak tau apa yang mereka bicarakan, gerak bibirnya tidak terbaca olehku. Menyaksikan itu, napasku kian memburu, keringat dingin mulai kurasakan membasahi punggungku.
Di tengah sidang yang semakin panas itu, tiba-tiba saja pintu apartemenku diketuk. Aku semakin gemetar, bahkan kini bel pun ditekan terus menerus. Dengan tubuh lemah, aku beranjak dari sofa, melangkah dengan penuh keraguan, meskipun begitu aku akhirnya sampai di depan pintu dan membukanya.
"Saudari Lina, kami tangkap atas tuduhan pembunuhan berencanan," ucapnya, kemudian tanpa menunggu jawaban dariku, mereka segera memborgol kedua tanganku.
Aku tertawa terbahak-bahak ketika polisi berpakaian lengkap dengan senjata, menggiringku keluar dari apartemen. "Bajingan durhaka itu tidak bisa diandalkan."