Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Horor
Setangkai Mawar Biru
0
Suka
4,327
Dibaca

“Dan untuk Kiku, setangkai mawar biru yang disimpan di kantor.”

Seluruh pasang mata di ruangan langsung menatapku, banyak yang terlihat bingung dan  terkejut. Kenapa mereka menatapku seperti itu? Padahal aku pun anak Ayah.

“Mawar? Untuk dia?” Salah seorang kakakku bertanya, menunjuk ke arahku seakan menuduh.

“Iya, itulah yang tertulis di wasiat Pak Haryanto. Ananda Kiku mendapatkan setangkai mawar biru,” jawab pengacara keluarga dengan jelas.

“Kenapa dia dapat?” Giliran ibuku yang bertanya, matanya sembab tetapi juga menatapku takut. “Kenapa mawar?”

Kenapa mawar? Sepertinya Ibu lupa bahwa aku senang sekali dengan mawar, apalagi yang berwarna biru yang selalu diberikan oleh Ayah setiap pagi. Maka peninggalan Ayah ini sudah yang terbaik menurutku.

“Pak Haryanto tidak menulis apapun lagi selain yang sudah saya katakan, wasiatnya jelas mengatakan ananda Kiku ikut mendapat bagian.” 

Acara pembacaan wasiat selesai dengan suasana yang mendung, saudara-saudaraku sesekali melemparkan pandangan aneh kepadaku, bahkan Ibu tidak mau membawaku keluar ruangan dan menyuruh salah seorang pembantu untuk melakukannya. 

Aku tidak mengerti, apakah aku tidak seharusnya mendapatkan bagian dari wasiat Ayah? Sempat pula kudengar para kakak dan adik yang tengah berbincang mengenai wasiatku, sepertinya mereka benar-benar kebingungan mengapa Ayah meninggalkan sesuatu untukku.

Meski begitu, pada akhirnya mereka menepati wasiat Ayah juga. Tak lama setelah keributan itu, Ibu menyuruh pembantu untuk membawaku ke ruang kantor Ayah di rumah. Aku diposisikan duduk di kursi menghadap meja, di mana setangkai mawar biru di dalam vas berdiri di atas sana. 

Pintu ditutup dan aku ditinggal sendirian di dalam kantor. Tidak masalah, aku sudah terbiasa dengan sepi, karena hanya Ayah yang selalu mengajakku berbicara selama ini. Aku hanya ingat Ibu pernah sekali-dua kali mengajakku berbicara ketika awal-awal, lalu selebihnya beliau bahkan tidak mau menatap wajahku. 

Mawar biru itu terlihat sedikit berbeda dari yang selalu Ayah berikan kepadaku, entah kenapa warnanya memiliki gradasi yang indah dengan sedikit nuansa ungu di ujung kelopaknya. Aku pusing sendiri memikirkan usaha Ayah ketika mewarnainya.

Oh, tentu saja aku tahu bahwa mawar biru yang diberikan Ayah setiap pagi sebenarnya adalah mawar putih yang sudah diwarnai. Tidak ada mawar yang tumbuh dengan warna biru alami. Meski Ayah selalu bercerita mengenai keberadaan mawar biru alami, Ibu dan semua orang selalu berusaha memberitahunya bahwa itu tidak nyata.  

Walaupun begitu, aku tetap menyukai mawar biru. Bagiku fakta bahwa mereka tidak nyata menambah kecantikannya yang terasa mencolok dan bukan dari dunia ini. Apalagi dengan maknanya yang berupa kemisteriusan dan kemustahilan. 

Ketika aku sedang terpana dengan keindahan mawar biru di meja Ayah, pintu kantor pun terbuka. Ibu datang dengan secarik kertas di tangan.

Ibu berdiri di hadapan meja, pandangannya ke bawah lagi-lagi tidak mau menatapku. Beliau bergumam sesuatu yang terdengar seperti “haruskah?” dan “kenapa aku melakukan ini?”. Aku menatapnya penasaran.

Setelah menarik napas, Ibu berkata, “Dalam wasiat ayahmu kepada Ibu, ia menyuruh Ibu membacakan ini begitu kamu sudah mendapatkan mawar birunya.”

Aku menunggu dengan harapan, kubayangkan jantung yang berdegup kala gugup.

“Untuk Kiku, percayalah bahwa mawar biru yang Ayah ceritakan selama ini nyatanya memang ada. Kamu bisa kembali berada di sisi kami karena Ayah telah meminta keajaiban kepada mawar biru. Kali ini, Ayah serahkan kepadamu sisa permintaan itu selagi kelopaknya masih banyak. Gunakan supaya kamu bahagia.” Suara Ibu bergetar ketika membacakannya, matanya tergenang oleh air mata dan ada isak yang sempat kabur dari mulutnya.

“Ah, buat apa pula kukatakan ini … kamu tidak akan mendengarnya, Kiku,” bisik Ibu sambil menggigit bibir. “Kenapa ayahmu selalu percaya kepada yang tidak nyata? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang salah darinya, dia bahkan selalu berbicara pada sebuah lukisan.”

Aku menatap Ibu dengan sedih, ingin menghapus air mata yang mulai mengalir di pipinya. Namun kemudian Ibu menatapku horor dan segera berbalik, berseru “aku tidak tahan lagi!” sembari pergi berlari keluar ruangan.

Aku dibuat termenung selepas kepergiannya, memandangi mawar biru yang kini bercahaya ditimpa sinar matahari yang merembes masuk dari sela-sela tirai jendela. 

Perkataan Ayah mengenai mawar biru itu tidak bisa kupahami, rasanya terlalu konyol dan gila. Tetapi ada bagian dari diriku yang berharap itu nyata, karena aku memang memendam keinginan yang akan terdengar sangat, sangat mustahil.

Sudah lama kusimpan perasaan sesak yang berawal dari rasa iri ketika melihat Ayah, Ibu, kakak-kakak, dan adik yang bisa bebas pergi ke mana saja, yang ketika menarik napas dadanya kembang kempis, dan ketika terluka darah akan menetes keluar dari tubuh. 

Aku ingin itu, aku ingin seperti mereka. 

Maka kuucapkan keinginanku sambil mengutuk diri ini yang bahkan tak dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara. 

Kemudian kulihat satu kelopak mawar biru jatuh. 

***

Keesokan harinya, seorang pembantu menjerit dan berlari ketakutan ketika aku berjalan keluar dari kantor Ayah. Aku tidak peduli, aku ingin menemui Ibu dan saudara-saudaraku untuk memperlihatkan kepada mereka tubuh yang baru kudapatkan ini.

Tak kusangka, Ibu malah melempar vas di tangannya begitu melihatku, matanya membelalak ketakutan ketika aku bersuara.

“Ibu, tidak usah takut, ini Kiku.” Aku mencoba tersenyum, gerakanku masih terasa sedikit kaku karena selama ini aku hanya bisa sesekali menggerakkan bola mataku. 

“Siapa kamu?!” Ibu meloncat mundur begitu aku mendekat.

Aku mengernyit, seharusnya Ibu memelukku senang. “Ini Kiku, anak Ibu.”

“Anakku Kiku sudah mati 10 tahun yang lalu! Kamu bukan anakku!” 

Ada perih di hati ketika mendengar ucapan Ibu, tetapi merasakan jantung yang berdegup kencang di dada membuatku senang. 

Aku hidup.

“Ibu, Ayah benar, mawar biru itu bisa mendengar permintaan.” Aku berhenti di hadapan Ibu yang sudah terjebak memunggungi dinding. “Aku bisa keluar dari pigura yang selama ini mengekangku, bukankah itu hebat?”

Wajah Ibu pucat pasi, tangannya gemetaran menutup mulut. 

“Aku sadar bahwa aku hanyalah lukisan yang dibuat Ayah untuk mengenang mendiang anak gadisnya yang pergi di usia muda,” jelasku sambil menggerakkan jemari tangan di hadapan wajah, memperhatikan gerakan itu dengan kagum. “Tetapi aku juga ingin hidup, Ibu, aku ingin menjadi Kiku anakmu.”

Ibu membuka mulut, berkata terbata, “Kamu … kamu tidak akan pernah menjadi anakku!”

Senyumku hilang, ada pahit yang kurasa. Sepertinya itu kecewa. Seharusnya seorang Ibu mencintai anaknya.

Ah, tidak masalah, kelopak mawar biru itu masih banyak. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Flash
Setangkai Mawar Biru
Tazkia Irsyad
Flash
Bird's Eye
Fann Ardian
Novel
Teror Satu Malam
yon bayu wahyono
Novel
Bisikan Malam
A.R. Rizal
Novel
Santri Tak Kasat Mata
Hanif Hilmi Ali
Novel
DARAH DENDAM
Trajourney
Novel
PERJANJIAN
Tira Riani
Novel
Bronze
Luk Thep ~Novel~
Herman Sim
Flash
Hantu
Arwis Pitha
Cerpen
Bronze
Sebilah Pedang, Gua Kelelawar, dan Seekor Buaya
Habel Rajavani
Flash
Bronze
Titan
Rama Sudeta A
Flash
Bronze
Malam Jumat
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
The Puppet Master
Rama Sudeta A
Novel
Cagak Cemani
Noor Angreni Putri Hasim
Novel
HEXANA
Iin Farliani
Rekomendasi
Flash
Setangkai Mawar Biru
Tazkia Irsyad
Flash
Balas Dendamku Pada Dunia
Tazkia Irsyad
Novel
Lima Alasan Untuk Hidup
Tazkia Irsyad
Flash
Pangeran Matahari
Tazkia Irsyad
Novel
Separuh Jiwa
Tazkia Irsyad
Flash
Senja Gerimis di Dekat Laut
Tazkia Irsyad
Novel
Tujuh Pengakuan
Tazkia Irsyad